Oleh: Mahdiduri, Freelance Graphic Designer
Dan kita bertanya : “ Maksud baik saudara untuk siapa ?” Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina – Sajak Mahasiswa, WS Rendra
Petikan puisi WS Rendra di atas, mewakili emosi saya melihat penyelenggaraan sayembara logo HUT Banten 2024 dan 2025 ini. Pasalnya saya sudah melihat niat baik dari Pemprov Banten melalui Diskominfo provinsi Banten untuk mengajak masyarakat secara umum dan para desainer grafis di seluruh Banten untuk merayakan hari jadi daerahnya melalui lomba/sayembara logo.
Tahun kemarin menjadi helatan pertama lomba logo ini dengan hasil yang tidak memuaskan masyarakat.
Setidaknya hal itu menjadi pergunjingan (ketidakpuasan) di akun instagram Pemrov Banten, banyak peserta mempertanyakan transparansi proses penyelenggaraan sampai dengan kompetensi juri.
Tahun 2025 ini sayembara logo itu kembali digelar, harapan para peserta (masyarakat dan pelaku grafis) untuk mendapatkan kompetisi yang adil, transparan dan hasil yang memuaskan berakhir kandas.
Perlakuan 2024 kembali diulang ditahun ini. Banyak kejanggalan yang terjadi dalam sayembara 2024 dan 2025 ini.
Pertama, Proses lomba dilakukan tertutup. Hal ini tentunya berlawanan dengan semangat awal sayembara itu sendiri (pelibatan partisipasi aktif masyarakat).
Jika sayembara logo ini diadakan pihak swasta/individu perlakuan ini tidak bisa digugat, tapi karena sayembara ini dilakukan oleh instansi pemerintah, maka diharuskan dilakukan terbuka sesuai dengan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (toh sayembara ini tidak termasuk dalam informasi yang dikecualikan).
Era medsos saat ini sangat memudahkan kita untuk membagi informasi termasuk sosialisasi program atau kegiatan pemerintah, tetapi sangat disayangkan upaya partisipasi aktif dalam sayembara melalui medsos ini ditutup rapat oleh panitia.
Terakhir saya mengikuti sayembara Rebranding Logo Wisata Sensasional Lombok Utara., dilaksanakan oleh pemerintah daerahnya melibatkan pihak ketiga.
Syarat ikut lomba cukup sederhana, setiap peserta cukup mengupload karya yang dilombakan di medsos masing-masing dengan mentag akun dan menggunakan hastag tertentu. Tidak direcoki dengan syarat A B C D dan lainya.
Semua pengguna medsos bisa melihat dan bebas mengomentari hasil karya peserta, proses terbuka ini sekaligus merangsang calon peserta yang belum mengirimkan karyanya untuk mendesain logo terbaik sebagai peserta.
Masuk bagian penilaian, semua karya dinilai secara terbatas (panitia dan juri), tetapi panitia tetap menginformasikan proses penjurian melalui medsos (foto dan caption). Dilanjutkan dengan pegumuman nominasi (5 besar) karyanya ditampilkan. Dan hingga akhrinya pemenangnya diumumkan dan hasilnya bisa diterima oleh semua peserta, termasuk saya.
Sementara itu, saya menilai teknis sayembara logo HUT banten masih memakai cara-cara kolonial, pendaftaran, karya dan penilaian semua tertutup, seperti sedang memainkan sinteron “Ada apa dengan logo HUT Banten” apakah ada titipan (pemenang sudah ditentukan sebelum lomba?), atau ada kunyuk dibalik batu? Kalau soal ini perlu indeep report.
Dan wajar juga jika peserta memiliki kecurigaan-kecurigaan atas sebuah proses tertutup seperti orang belum menikah, tetapi mendadak hamil.
Kedua, Kompetensi Juri. Lagi-lagi panita menyembunyikan secara rahasia keberadaan Juri seolah-olah juri adalah rahasia Negara yang kalau dikuak akan mengganggu stabilitas nasional.
Saya pernah menjadi salah satu dari lima juri maskot di instansi pemerintah, kebetulan dewan juri terdiri dari 3 desainer grafis, 1 budayawan dan 1 perwakilan dinas, Pada saat rapat persiapan lomba, panitia berkonsultansi apakah juri disebutkan dalam poster sayembara atau tidak, kemudian saya katakan juri harus disebutkan untuk menjaga kredibilitas sayembara dan pretise lembaga (menghindari syak wasangka yang tidak perlu).
Melihat hasil sayembara logo HUT Banten 2024 dan 2025, muncul pertanyaan dan pernyataan dari peserta (bisa dicek diakun medsos pemprov) “Siapa sih jurinya? Wah, kayaknya ada orang dalam”.
Kondisi itu memunculkan dugaan juri yang dilibatkan adalah pegawai/pejabat instansi terkait, tidak melibatkan praktisi professional di dalamnya, serta kemungkinan ada peserta memiliki hubungan dengan panitia dan diarahkan untuk jadi pemenang (mungkin saudaranya, temannya, tetangganya, sepupu dari saudaranya, mungkin juga karena satu RT/RW).
Ditambah lagi dengan sayembara 2025 ini menghasilkan nominasi dari kab/kota yang berbeda, Kebetulankah atau disengaja? Untuk mengesankan bahwa lomba ini diikuti oleh kab/kota seluruh Banten dan nominatornya sudah mewakili 2/3 kuorum. Saya rasa kalau jumlah nomintaornya ada delapan pasti genap mewakili seluruh kab/kota di Banten.
Hasil lomba menggambarkan kapasitas juri dan kredibilitas penyelenggara. Melihat hasilnya, maka saya menilai kapasitas juri sayembara logo HUT Banten 2024 dan 2025 ini patut dipertanyakan. Pemprov Banten sudah memiliki niat baik dalam sayembara ini, mengubah penunjukan langsung menjadi sayembara, hanya saja pertanyaannya apakah niat baik itu didukung dengan cara yang baik dan hasilnya bisa diterima dengan baik masih menjadi PR untuk dibenahi.
Saya pribadi mendukung niat baik ini, sayembara logo HUT Banten menjadi salah satu agenda rutin yang melibatkan masyarakat umum, hanya saja teknis pelaksanaan harus dilakukan secara terbuka dan melibatkan praktisi dalam penjurian. Dengan APBD 10 Triliun, masa tidak bisa mengupah tenaga professional yang hanya lima orang.
Terlebih, Gubernur Banten, Andrasoni dalam salah satu wawancara mengatakan Pemprov Banten akan menyambut peluang ekonomi kreatif. Dia berjanji akan meningkatkan kualitas SDM masyarakat Banten.
“Kunci dari ekonomi kreatif adalah manusianya, insan kreatifnya sehingga Provinsi Banten siap dukung pertumbuhan ekonomi kreatif dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Tujuan kita adalah supaya ekonomi kreatif terus tumbuh dan bergerak,” ujarnya. (22/3/2025).
Berita itu menegaskan komitmen Gubernur Banten untuk menggeliatkan ekonomi kreatif di masyarakat, hanya saja kalau ditautkan dengan pelaksanaan sayembara logo HUT Banten, nampaknya komitmen tersebut belum didukung penuh oleh jajaran dibawahnya dan juga saya kira SDM yang sangat perlu ditingkatkan pemahamannya mengenai Desain Komunikasi Visual sebagai subsektor ekonomi kreatif adalah pegawai/pejabat pemrov itu sendiri.
Atas kondisi ini, saya ingin rekomendasikan hal-hal yang bisa dilakukan untuk membenahi pelaksanaan lomba (1) Lomba dilakukan secara terbuka dengan memanfaatkan media sosial untuk sosialisasi dan ajang unjuk karya peserta (2) Libatkan praktisi desain grafis sebagai dewan juri (3) Ubah status sayembara dari tingkat provinsi menjadi tingkat nasional dengan nilai hadiah yang layak (4) Alihkan penyelenggara lomba dari Diskominfo ke instansi Disbudpar bidang ekonomi kreatif atau ke biro administrasi pemerintahan, jikapun masih di Diskominfo, mutasi pegawai/pejabat yang terlibat sebagai panitia lomba tahun ini dan sebelumnya.
Tim Redaksi