SERANG – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten akan memgkaji ulang pembangunan Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Regional.
Hal itu menyusul usulan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang meminta pemerintah daerah di Provinsi Banten melakukan algomerasi atau kerjasama pengelolaan sampah antar wilayah.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataam Ruang (DPUPR) Provinsi Banten, Arlan Marzan mengatakan, berdasarkan hasil rapat koordinasi (rakor) antara KLH, Pemprov Banten dan pemerintah Kabupaten/Kota, pembangunan TPSA Regional akan dilakukan pengkajian ulang.
“Jadi TPSA Regional perlu dikaji ulang, bukan dibatalkan. Karena yang punya sampahkan kabupaten/kota. Apalagi kemarin (saat rakor) dengan KLH kita mendengarkan persoalan sampah di kabupaten/kota,” kata Arlan, Sabtu (13/9/2025).
Arlan mencontohkan, persoalan sampah di Kabupaten Serang bisa dialgomerasikan dengan Kota Cilegon.
“Di TPSA (Bagendung) Cilegon kapasitasnya itu 800 ton per hari. Sedangkan (sampah) Cilegon sendiri 200 ton per hari. Artinya masih ada ruang banyak,” ucapnya.
Pemprov Banten, kata Arlan, juga akan melihat kendala-kendala apa saja yang ada di kabupaten/kota.
“Karena yang punya sampah kan mereka (kabupaten/kota). Makanya dipastikan dulu bagaimana pengelolaannya untuk kita (berikan) dukungan dari provinsi,” katanya.
“Seperti di Kota Tangerang, mereka terkendala IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah, red). Mereka baru punya satu, dan ingin membangun IPAL kedua,” sambungnya.
Di sisi lain, Arlan mengungkapkan, kendala yang dihadapi dalam pembangunan TPSA Regional adalah penolakan dari masyarakat. Hal itu lantaran, mereka takut lingkungannya tercemar.
“Di samping teknologi pengolahan sampah, ada juga penolakan dari masyarakat. Meteka takut (lingkungannya) tercemar. Tapi nanti kita akan edukasi (mereka),” ungkapnya.
Sebelumnya diberitakan, KLH mendorong daerah dengan produksi sampah relatif kecil di Banten agar menerapkan pola pengelolaan berbasis aglomerasi atau kerja sama lintas wilayah. Langkah ini dipandang lebih efektif untuk mengatasi keterbatasan kapasitas pengolahan di masing-masing daerah.
Sekretaris Utama KLH, Rosa Vivien Ratnawati, menyampaikan hal itu usai rapat koordinasi pengelolaan sampah bersama Gubernur Banten, Andra Soni, dan sejumlah kepala daerah di Aula Pendopo KP3B, Jumat (12/9/2025) kemarin.
Menurut Rosa, kompleksitas persoalan sampah di Banten berbeda-beda bergantung pada volume yang dihasilkan setiap wilayah.
Daerah dengan timbulan sampah besar, seperti Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang, disebut memerlukan dukungan teknologi modern.
“Berarti cocok untuk teknologi yang menggunakan electricity atau menjadi listrik,” kata Rosa.
Namun, untuk wilayah dengan produksi sampah lebih kecil seperti seperti Cilegon, dan Kota dan Kabupaten Serang, serta Lebak, aglomerasi dipandang menjadi solusi.
“Misalnya Cilegon bisa menampung 8.000 ton untuk RDF (Refuse Derived Fuel), padahal sampahnya hanya 200 ton. Jadi harus aglomerasi dengan daerah sekitar,” ujarnya.
Selain menekankan pentingnya aglomerasi, Rosa kembali menegaskan bahwa metode open dumping atau pembuangan terbuka tidak lagi relevan digunakan. Ia menekankan bahwa TPA Bangkonol di Pandeglang yang masih menggunakan sistem open dumping harus segera beralih ke metode lain.
“Kalau TPA open dumping memang kami tidak merekomendasikan, paling tidak controlled landfill itu harus dilakukan,” katanya.
Metode controlled landfill, lanjut Rosa, merupakan metode yang bisa digunakan sebagai pengganti open dumping.
SERANG – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten akan mengkaji ulang rencana pembangunan Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Regional. Langkah ini menyusul usulan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) agar daerah di Banten menerapkan sistem aglomerasi atau kerja sama lintas wilayah dalam pengelolaan sampah.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Provinsi Banten, Arlan Marzan, mengatakan keputusan itu diambil berdasarkan hasil rapat koordinasi antara KLH, Pemprov, serta pemerintah kabupaten/kota.
“TPSA Regional perlu dikaji ulang, bukan dibatalkan. Karena yang memiliki sampah itu kabupaten/kota. Saat rakor dengan KLH, kita mendengarkan langsung persoalan sampah di masing-masing daerah,” ujar Arlan, Sabtu (13/9/2025).
Ia mencontohkan, permasalahan sampah di Kabupaten Serang bisa dialokasikan ke Kota Cilegon. “Di TPSA Bagendung Cilegon kapasitasnya 800 ton per hari, sedangkan produksi sampah Cilegon hanya 200 ton per hari. Artinya masih ada ruang yang bisa dimanfaatkan,” jelasnya.
Menurut Arlan, Pemprov Banten juga akan menyesuaikan dukungan dengan kendala yang dihadapi setiap daerah. Misalnya, Kota Tangerang masih terkendala instalasi pengolahan air limbah (IPAL). “Saat ini mereka baru punya satu IPAL, dan berencana membangun yang kedua,” katanya.
Namun, Arlan mengakui tantangan terbesar dalam pembangunan TPSA Regional adalah penolakan masyarakat karena khawatir lingkungan tercemar. “Selain persoalan teknologi pengolahan, ada juga penolakan masyarakat. Mereka takut lingkungannya tercemar. Tapi nanti akan kita lakukan edukasi,” ungkapnya.
Sebelumnya, Sekretaris Utama KLH, Rosa Vivien Ratnawati, menekankan pentingnya penerapan aglomerasi bagi daerah dengan timbulan sampah relatif kecil. Pernyataan itu ia sampaikan usai rapat koordinasi pengelolaan sampah bersama Gubernur Banten Andra Soni dan sejumlah kepala daerah di Aula Pendopo KP3B, Jumat (12/9/2025).
Menurut Rosa, persoalan sampah di Banten bervariasi bergantung pada volume di masing-masing wilayah. Daerah dengan produksi sampah besar, seperti Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang, membutuhkan teknologi modern, termasuk yang mampu mengubah sampah menjadi listrik.
“Sedangkan daerah dengan timbulan sampah kecil seperti Cilegon, Kota dan Kabupaten Serang, serta Lebak, lebih cocok menggunakan aglomerasi. Misalnya, Cilegon bisa menampung 8.000 ton untuk RDF (Refuse Derived Fuel), padahal sampahnya hanya 200 ton. Maka harus aglomerasi dengan daerah sekitar,” jelasnya.
Rosa juga menegaskan bahwa metode pembuangan terbuka (open dumping) tidak lagi relevan digunakan. Ia mencontohkan TPA Bangkonol di Pandeglang yang masih menggunakan metode tersebut harus segera beralih.
“Kalau TPA open dumping memang kami tidak merekomendasikan. Paling tidak harus beralih ke controlled landfill,” ujarnya.
Penulis: Tb Moch. Ibnu Rushd Editor: Gilang Fattah