CILEGON – Seorang warga di Lingkungan Curug Kepuh, RT 005/002, Kelurahan Bagendung, Kecamatan Cilegon, Kota Cilegon mengeluhkan aktivitas tambang pasir atau galian C yang berada tepat di bawah rumahnya.
Pantauan di lokasi, rumah yang dihuni oleh tiga orang itu kondisinya cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, area rumah itu telah dikelilingi tambang pasir yang hanya berjarak beberapa meter saja.
Apabila dilihat dari kejauhan, kondisi rumah itu persis berada di pinggir tebing. Di mana, tepat di bawahnya, tengah berlangsung aktivitas tambang pasir dengan sejumlah alat berat yang beroperasi.
“Sangat khawatir. Kalau malem suka berpikirnya sewaktu-waktu ambrol. Getarannya ini kalau lagi tidur terasa. Takut, khawatir setiap hari,” kata pemilik rumah yang tak ingin disebutkan namanya kepada BantenNews.co.id, Senin (8/9/2025).
Ia mengungkapkan, kondisi seperti itu telah berlangsung sekitar 5 bulan tanpa ada sosialisasi atau pemberitahuan terlebih dahulu. Lantaran takut dan khawatir terjadi longsor atau ambrol, ia sempat menawarkan kepada pelaku tambang agar membeli rumahnya.
“Siang-malam aktivitas tambang jalan aja, jadi ganggu gak bisa tidur. Gak ada sosialisasi, pemberitahuan. Tiba-tiba ada aja. Misal ada yang jual tanah samping rumah, yaudah dikeruk gitu aja. Pernah saya mau jual rumah ini, ngomongnya iya iya aja, tapi ya sampai sekarang gak ada,” ucapnya.
Ia mengaku, selama aktivitas tambang pasir itu beroperasi dirinya dan warga sekitar diberi uang kompensasi oleh pihak penambang. Oleh sebab itu juga, ia bingung jika hendak memprotes lantaran warga yang lainnya tampak menerima keberadaan aktivitas penambangan itu.
“Iya, dikasih uang kompensasi. Saya udah nerima sekitar 3 kali itu Rp50 ribu setiap bulan yang nganterin uangnya warga sekitar sini. Tapi baru kemarin saya dikasih Rp200 ribu yang anterin Pak RT,” ujarnya.
Dengan kondisi demikian, ia hanya bisa pasrah sambil terus berharap tidak terjadi sesuatu yang dapat membahayakan ia dan keluarganya di kemudian hari. “Jadi pasrah aja udah, minta perlindungan aja. Suami lagi sakit stroke juga,” tutupnya.
Sementara itu, Lurah Bagendung Eha Nursoleha menuturkan pada prinsipnya ia juga tak menyepakati adanya aktivitas tambang pasir di lokasi tersebut. Namun, ia tak mampu berbuat banyak karena masyarakat setempat sendiri menyepakati keberadaan tambang pasir itu.
Menurutnya, aktivitas tambang pasir di wilayah Bagendung bukan hanya ada di RT 005 saja. Sebelumnya, di wilayah RT 004 juga terdapat hal serupa. Namun, karena warga kompak menolak akhirnya tambang pasir di lokasi itu ditutup.
“Soal masalah penggalian memang dari awal saya tidak setuju, karena saya memang lihat dampak lingkungannya luar biasa. Itu kalau digali terus, dikeruk terus lama-lama meresahkan. Nah, ini kenapa sih masyarakatnya diam? Kalau soal perizinan, itu bukan kewenangan kami. Kami sebagai pemerintah di sini bagaimana masyarakat. Kalau masyarakat nyaman, ya sudah. Berarti segala sesuatu perihal itu kan mereka anggap sudah. Kami anggap selama tidak ada masalah di masyarakat ya sudah, anggap saja itu mereka menerima,” tuturnya.
“Pernah ada galian yang meresahkan masyarakat kami panggil. Alhamdulillah ada respon, kami dudukan semua di sini dan menyatakan keberatan. Alhamdulillah sekarang sudah tutup,” sambung Eha.
Meski aktivitas tambang pasir itu berlangsung cukup lama, hingga saat ini Eha mengaku tidak mengetahui siapa penambang yang beroperasi di lokasi itu lantaran tidak pernah ada komunikasi.
“Kita gak tau pelaku pelaku tambangnya juga siapa. Gak tau legalitasnya juga, karena soal perizinan kan di provinsi dan pusat, tapi setidaknya pihak pengusaha harusnya ada lah konfirmasi,” katanya.
Penulis: Maulana
Editor: Tb Moch. Ibnu Rushd