
SERANG – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Serang menuntut tiga terdakwa kasus Pertamax Oplosan di SPBU Ciceri dengan hukuman 4 tahun penjara.
Ketiga terdakwa, Deden Hidayat, Nadir Sudrajat dan Aswan alias Emon dinilai terbukti melanggar Pasal 54 Undang-Undang Minyak dan Gas (Migas) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“(Menuntut supaya majelis hakim) menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan,” kata JPU Slamet saat membacakan tuntutan di Pengadilan Negeri (PN) Serang, Rabu (3/9/2025).
Mengenai keadaan yang memberatkan tuntutan, perbuatan terdakwa dianggap meresahkan masyarakat, merusak nama baik PT Pertamina, dan merugikan pengendara pengguna BBM jenis Pertamax.
“Perbuatan terdakwa merugikan konsumen pengguna bahan bakar minyak (BBM) khususunya jenis Pertamax,” ujar Slamet.
Adapun hal yang meringankan, ketiganya mengakui perbuatannya, belum pernah dihukum, serta menyesali dan merasa bersalah atas tindakannya.
“(Para) terdakwa tulang punggung keluarga,” tuturnya.
Usai mendengarkan tuntuan JPU, ketiga terdakwa yang tidak didampingi kuasa hukum, akan membacakan pledoi atau nota pembelaan secara pribadi pada sidang selanjutnya.
Dalam sidang dakwaan sebelumnya, Slamet mengatakan peran masing-masing terdakwa yakni Deden sebagai penyuplai, Nadir selaku manajer SPBU Ciceri, dan Aswan alias Emon selaku pengawas SPBU Ciceri.
Slamet menjelaskan bahwa kasus ini bermula pada 17 Maret 2025, ketika Aswan menghubungi Deden untuk membeli Pertamax dengan harga lebih murah.
Saat itu, Deden belum memiliki stok. Beberapa hari kemudian, Deden mendapat tawaran dari seorang bernama Marko, yang kini buron, untuk menjual 16.000 liter BBM olahan dengan harga Rp9.500 per liter.
“Terdakwa Deden menyetujui tawaran tersebut dan langsung menghubungi saksi Aswan dalam rangka menawarkan BBM Jenis Pertamax tanpa Surat Jalan dan tanpa DO seharga Rp10.200 per liter,” kata Slamet saat membacakan dakwaan di PN Serang, Senin (28/7/2025).
Pengiriman dilakukan pada malam hari, 20 Maret 2025, menggunakan mobil tangki berlogo PT Pertamina. Proses pembongkaran dilakukan di SPBU 34.421.13 Ciceri, dan disaksikan oleh ketiga terdakwa.
“Dalam rangka untuk membuat BBM Jenis Pertamax hasil olahan bukan dari PT Pertamina tersebut seolah-olah sebagai BBM jenis Pertamax yang diproduksi oleh PT Pertamina, selanjutnya saksi Nadir Sudrajat dan saksi Aswan kemudian mengarahkan terdakwa Deden untuk mencampurkannya dengan Pertamax asli yang masih ada (tersisa) di tangki pendam,” ucapnya.
Sebanyak 8.000 liter Pertamax resmi dari Pertamina kemudian dicampurkan dengan BBM yang dibeli dari Deden. Setelah itu Deden menerima pembayaran sebesar Rp80 juta dari nilai total Rp152 juta dari Aswan selaku pengawas SPBU.
Sedangkan sisa uangnya, dijanjikan Aswan akan dibayar ketika Pertamax itu habis terjual. Setelah itu, terdakwa Aswan mengambil sampel Pertamax yang tercampur itu dan memberikanya kepada saksi Samsul selaku pengawas dan bagian keuangan SPBU Ciceri.
Namun, didapati sampel Pertamax itu berwarna biru pekat, tidak sesuai dengan Pertamax asli dari Pertamina.
“Saksi Samsul kemudian melaporkannya kepada Nadir Sudrajat selaku Manajer Operasional SPBU. Nadir Sudrajat kemudian memerintahkan kepada semua karyawan SPBU untuk segera menutup SPBU tersebut dan selanjutnya pada hari Jumat pagi tanggal 21 Maret 2025, Aswan menghubungi dan meminta terdakwa Deden untuk datang ke SPBU Ciceri dalam rangka mencari solusi terhadap BBM jenis Pertamax yang berwarna Biru pekat tersebut,” tuturnya.
Deden lalu menawarkan dua opsi: menyedot ulang BBM atau menambahkan zat pewarna. Namun, usulan itu ditolak Nadir. Solusi akhir dari Deden adalah menambahkan lagi 8.000 liter Pertamax resmi untuk menutupi perbedaan warna.
“BBM jenis Pertamax tersebut langsung dilakukan pembongkaran (pencampuran) supaya warna BBM jenis Pertamax hasil olahan yang ada di dalam tangki pendam tersebut berubah menjadi warna biru terang sesuai dengan warna BBM Pertamax yang asli dari Pertamina,” sambungnya
Meski telah dilakukan pencampuran dua kali, keluhan dari konsumen terus muncul. Pada 23 Maret 2025 malam, dua nozzle SPBU dilaporkan mengeluarkan BBM dengan warna yang mencurigakan.
Esok harinya, Subdit IV Tipidter Polda Banten langsung tangan. “Penyidik dari Subdit IV Tipidter Polda Banten menyegel dua nozzle serta mengambil empat sampel BBM dari tangki pendam untuk diuji laboratorium,” kata Slamet.
Hasil laboratorium tersebut menunjukkan salah satu parameter, yaitu Final Boiling Point (FBP) Pertamax itu, melampaui ambang batas maksimal 215 yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Migas, yakni mencapai 218,5.
Ahli dari Badan Pengatur Hilir Migas, Dedi Armansyah, menyatakan bahwa pencampuran Pertamax olahan dengan Pertamax resmi tanpa izin pemerintah merupakan bentuk pemalsuan.
“Merupakan kegiatan meniru atau menyerupai atau memalsukan BBM sehingga seolah-olah BBM Pertamax asli untuk selanjutnya dipasarkan di dalam negeri,” ujar Slamet.
Penulis: Audindra Kusuma
Editor: Tb Moch. Ibnu Rushd