Refleksi Maulid di Era Kekinian

Santony Amindo, Mahasiswa Universitas Banten Jaya (Unbaja) Serang. (Istimewa) Oleh: Santony AmindoMahasiswa Universitas Banten Jaya Serang Bulan Rabiul Awal pada…
1 Min Read 0 6


Santony Amindo, Mahasiswa Universitas Banten Jaya (Unbaja) Serang. (Istimewa)

Oleh: Santony Amindo
Mahasiswa Universitas Banten Jaya Serang

Bulan Rabiul Awal pada kalender arab menjadi bulan yang penuh rahmat, karena pada bulan ini Nabi Muhammad SAW dilahirkan ke bumi. Bulan Rabiul Awal juga dikenal dengan nama lain dengan bulan Mulud atau Maulid.

Nabi Muhammad SAW merupakan sosok yang diutus Allah SWT sebagai Nabi dan Rasul akhir zaman, pemimpin umat, serta menyempurnakan ajaran islam yang rahmatan lilálamin.

Pada bulan ini, seharusnya menjadi momen refleksi yang mengingatkan kita akan nilai-nilai universal, yaitu, amanah, keadilan, kasih sayang, dan masih banyak lagi. Jadi wajar sosok Nabi Muhammad bisa menjadi suri tauladan bagi masyarakat dunia, dan Indonesia pada khususnya.

Pada momentum Maulid Nabi Muhammad SAW juga bisa dijadikan refleksi moral atas kondisi masyarakat terkini, khususnya moralitas kepemimpinan dan generasi muda.

Dari sisi demokrasi, Nabi Muhammad menerapkan ruang musyawarah sipil akan lebih diutamakan. Spirit Piagam Madinah yang menekankan kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan menjadi fondasi.

Bagi Rasulullah, demokrasi bukanlah ruang bagi senjata mencari kursi, melainkan ruang dialog dan pendidikan politik. Apalagi melihat kondisi reformasi demokrasi Indonesia kian rapuh.

Dari sisi ekonomi, contoh tauladan Nabi Muhammad membangun ekonomi di atas etika dan keadilan distribusi. Contoh, Pasar Madinah lebih mementingkan tranparansi harga, larangan monopoli dan  mendorong golongan kaya berperan aktif membangkitkan ekonomi umat.

Nabi juga mengajarkan tidak ada diskriminasi kelas; pedagang kecil, petani, dan buruh memiliki martabat yang sama.

Jika kita melihat ekonomi Indonesia saat ini, memang tampak tumbuh. Namun, rakyat kecil tetap tertinggal. Industri manufaktur menyusut, puluhan ribu pekerja kehilangan pekerjaan, sementara elite terus menikmati keuntungan. Inflasi dan utang menjerat masyarakat bawah.

Dalam kepemimpinan Nabi, dialog selalu diutamakan. Kritik tidak dianggap ancaman, melainkan bagian dari musyawarah. Nabi pernah menerima koreksi strategi perang dari seorang pemuda, menegaskan bahwa ruang perbedaan adalah hak setiap umat.

Piagam Madinah bahkan menjamin kebebasan beragama dan berpendapat bagi muslim maupun non-muslim. Prinsip ini menegaskan bahwa kebebasan berekspresi adalah pondasi persatuan, bukan sumber perpecahan.

Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan berpendapat, namun praktiknya sering berlawanan. Aktivis, jurnalis, hingga masyarakat adat kerap dikriminalisasi, sementara demonstrasi dibubarkan dengan kekerasan. Aparat lebih sering membela korporasi dibanding rakyat kecil.

Sejarah Madinah mengajarkan: pemimpin sejati adalah hamba bagi rakyatnya, bukan penguasa yang menuntut dilayani. Nabi Muhammad menempatkan jabatan sebagai amanah, bukan singgasana.

Indonesia membutuhkan pemimpin yang berani tunduk pada suara rakyat, bukan pada oligarki.

Maulid Nabi harus menjadi alarm moral, bukan sekadar seremonial. Ia mengingatkan kita bahwa kepemimpinan sejati lahir dari akhlak, keberanian, dan pengabdian. Bukan politik pencitraan, melainkan politik keberpihakan pada rakyat dan hukum.

Spirit Nabi adalah revolusi moral yang bisa menumbuhkan masyarakat adil, makmur, dan beradab.





Source link

beritajakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *