Memiuh Sastra dan Sejarah | BantenNews.co.id -Berita Banten Hari Ini

Jejak sejarah Islam di Indonesia – foto istimewa Wikipedia Yudi Damanhuri, Guru SMA Pesantren Unggul Al Bayan Anyer Sejarah kerap…
1 Min Read 0 2


Jejak sejarah Islam di Indonesia – foto istimewa Wikipedia

Yudi Damanhuri, Guru SMA Pesantren Unggul Al Bayan Anyer

Sejarah kerap kali dipahami sebagai catatan faktual tentang masa lalu, disusun berdasarkan dokumen resmi, arsip negara, laporan ilmiah, dan kesaksian yang telah diverifikasi. Namun, pendekatan semacam ini tak jarang menemui keterbatasan ketika harus menjelaskan sisi-sisi terdalam dari peristiwa sejarah, seperti trauma kolektif, bisu struktural, atau kebenaran emosional. Dalam celah ini, karya sastra memainkan perannya. Sastra tidak mengklaim objektivitas sebagaimana historiografi, tetapi menyimpan jejak-jejak pengalaman manusia yang sering kali luput dari perhatian sejarah formal.

Melalui bahasa metaforis dan narasi yang subjektif, karya sastra mampu merekam nuansa zaman, perasaan kolektif, dan konflik batin yang tersembunyi di balik peristiwa-peristiwa besar sejarah. Sebuah novel bisa menjadi jendela untuk melihat bagaimana suatu masa dihayati oleh individu atau kelompok, bukan sekadar mencatat apa yang terjadi. Karya-karya seperti Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dan Siti Nurbaya karya Marah Rusli bukan hanya representasi fiksi, melainkan juga dokumen sosial yang mencerminkan konstruksi zaman kolonial dan relasi kuasa yang berlaku.

Dalam konteks ini, sastra berfungsi bukan sebagai alat verifikasi sejarah, melainkan sebagai representasi sejarah alternatif—sebuah bentuk pencatatan yang mengandalkan daya imajinasi, empati, dan intuisi. Teoretikus Hayden White bahkan berargumen bahwa sejarah sejatinya adalah konstruksi naratif, sama seperti sastra. Dalam Metahistory (1973), ia menyatakan bahwa penulisan sejarah tidak netral; ia penuh dengan pilihan retoris, ideologis, dan naratif, sehingga garis antara sejarah dan sastra tidaklah setegas yang selama ini diasumsikan.

Lebih jauh, Walter Benjamin dalam Theses on the Philosophy of History (1940) menyatakan bahwa sejarah tidak boleh dilihat hanya sebagai kemenangan para pemenang, melainkan harus juga menghadirkan suara mereka yang tertindas. Ia menyebut bahwa “sejarah harus disikat melawan arah seratnya.” Di sinilah sastra menjadi penting: ia merekam luka, menyuarakan yang bisu, dan memberi ruang bagi mereka yang tertindas untuk didengar, meski melalui fiksi.

Contoh paling nyata dalam konteks Indonesia adalah cerpen “Clara” karya Djenar Maesa Ayu. Cerita ini mengangkat kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998. Dalam sejarah resmi, tragedi tersebut tercatat sebagai kerusuhan sosial-politik yang berujung pada jatuhnya rezim Soeharto. Namun, dalam cerpen Clara, pembaca diperhadapkan pada sisi lain dari peristiwa: tubuh perempuan sebagai medan politik, dan trauma sebagai warisan diam-diam yang tak tercatat dalam arsip negara. Di sini, sastra memiuhkan sejarah—bukan untuk membelokkannya, tetapi untuk membukanya ke dalam dimensi kemanusiaan yang lebih kompleks.

Contoh lain adalah novel “Pulang” karya Leila S. Chudori yang menggambarkan kehidupan para eksil politik Indonesia pasca-1965. Narasi sejarah Orde Baru menstigma para eks tapol sebagai pengkhianat, tetapi melalui tokoh Dimas dan anaknya, novel ini memperlihatkan sisi manusia dari mereka yang terpaksa hidup dalam pelarian, kehilangan tanah air, dan dihantui oleh stigma sosial. Ini adalah bentuk counter-history, yakni sejarah tandingan yang tidak memiliki tempat dalam narasi resmi negara. Novel ini juga menunjukkan bagaimana memori, luka, dan identitas saling bertaut dalam pencarian makna sejarah yang personal sekaligus politis.

Sementara itu, novel “Amba” karya Laksmi Pamuntjak juga membongkar trauma sejarah yang sama—Tragedi 1965—tetapi melalui kacamata perempuan. Di tangan Pamuntjak, sejarah tidak hanya soal korban dan pelaku, tapi juga tentang bagaimana cinta, tubuh, dan ingatan dipengaruhi oleh kekerasan politik. Dengan tokoh Bhisma dan Amba, novel ini menyajikan lanskap batin yang terdistorsi oleh kekuasaan militer dan represi negara. Sastra, dalam hal ini, tidak hanya mencatat apa yang terjadi, tetapi juga apa yang dirasakan oleh mereka yang menjadi bagiannya.

Jika kita melangkah lebih jauh, kita bisa melihat bagaimana karya sastra tidak hanya menarasikan sejarah, tetapi juga bisa menginterogasi dan bahkan mengacaukannya. Ini bisa dilihat dalam pendekatan yang disebut historiografi metafiksi oleh Linda Hutcheon, yaitu karya fiksi yang secara sadar merefleksikan dirinya sebagai konstruksi, sambil merujuk pada sejarah nyata. Meskipun belum banyak karya Indonesia yang secara eksplisit bermain dalam wilayah ini, pengaruhnya mulai tampak dalam cara penulis menantang narasi sejarah dominan dan membangun tafsir alternatif.

Dalam beberapa contoh di atas, kita melihat bahwa sastra menjadi lebih dari sekadar cermin realitas. Ia adalah pisau bedah kultural—menyayat dan menguliti masa lalu, serta mempertanyakan siapa yang berhak menulis sejarah. Sastra memungkinkan kita membaca yang tak tertulis, mendengar yang tak terdengar. Dengan kekuatannya, sastra dapat memperlihatkan bagaimana kekuasaan bekerja dalam tubuh, ingatan, dan narasi.

Sastra juga punya daya emansipasi: memberi bahasa kepada yang kehilangan suara. Dalam konteks Indonesia, ini menjadi penting karena banyak periode sejarah kita ditandai oleh represi dan sensor. Sastra kemudian menjadi ruang alternatif bagi ingatan kolektif dan kritik kultural. Bahkan ketika dokumen resmi diam, sastra terus berbicara—dalam simbol, dalam metafora, dalam kisah manusia biasa.

Dari sini, dapat disimpulkan bahwa sastra sebagai sejarah bukan berarti menyamakan sastra dengan historiografi, melainkan mengakui kemampuannya sebagai arsip emosional dan kultural yang menyeimbangkan narasi formal sejarah. Dalam dunia yang penuh kepentingan, di mana kebenaran kerap dikompromikan oleh kekuasaan, karya sastra bisa menjadi suara tandingan yang mengingatkan kita bahwa di balik setiap angka statistik dan garis waktu, ada manusia dengan segala harapan, ketakutan, dan keraguan mereka.

Dengan demikian, “memiuhkan sastra dan sejarah” bukan berarti mengacaukan keduanya, tetapi justru menautkan keduanya dalam satu simpul pemahaman yang lebih utuh: bahwa untuk memahami masa lalu, kita butuh lebih dari sekadar catatan arsip. Kita butuh narasi, ingatan, dan keberanian untuk mendengar yang bisu.

Kita juga dapat menengok karya luar negeri sebagai pembanding bagaimana sastra berfungsi sebagai sejarah kultural dan emosional. Novel “Beloved” karya Toni Morrison, misalnya, menggambarkan kekejaman perbudakan di Amerika melalui kisah seorang mantan budak perempuan yang dihantui oleh masa lalunya. Meski fiksi, novel ini menjadi semacam catatan sejarah emosional yang mendalam, menghadirkan rasa sakit dan trauma yang tidak pernah terekam dalam dokumen resmi. Dalam konteks ini, sastra menjadi wahana mengungkap sejarah dari kacamata mereka yang termarjinalkan.

Hal serupa juga terjadi dalam “Midnight’s Children” karya Salman Rushdie yang mengisahkan kehidupan tokoh Saleem Sinai yang lahir tepat saat India merdeka dari Inggris. Melalui narasi magis dan simbolik, Rushdie menyulam sejarah India pascakolonial menjadi pengalaman pribadi tokohnya, menjadikan sejarah tidak hanya sebagai latar belakang, melainkan sebagai denyut nadi identitas dan memori. Ini menunjukkan bahwa sejarah tidak tunggal, melainkan terdiri dari berbagai lapisan ingatan yang saling tumpang tindih.

Dalam ranah teori, Linda Hutcheon dalam karyanya *A Poetics of Postmodernism* menekankan pentingnya “historiographic metafiction”, yaitu genre fiksi yang merefleksikan dan menantang narasi sejarah resmi. Ia menyebutkan bahwa karya-karya seperti ini tidak sekadar mengarang, tapi menyadari bahwa sejarah itu sendiri adalah konstruksi. Karya-karya seperti ini memberi ruang bagi sejarah minor untuk bersuara dan menjadi tandingan bagi sejarah dominan.

Michel de Certeau dalam “The Writing of History” juga menunjukkan bahwa menulis sejarah bukan hanya soal menyusun data, tapi juga menyusun narasi—dengan semua keterbatasan bahasa, ideologi, dan pilihan subjektif penulis sejarah itu sendiri. Maka dari itu, sastra dapat menjadi media tandingan yang mengisi kekosongan narasi atau bahkan membongkar otoritas sejarah resmi.

Catatan penting dalam membaca sastra sebagai sejarah adalah kesadaran bahwa kita tidak sedang mencari kebenaran faktual, tetapi kebenaran emosional, kebenaran kemanusiaan. Dalam arti ini, karya sastra menjadi pelengkap yang esensial dalam membangun ingatan kolektif suatu bangsa. Ia menyuarakan mereka yang dibungkam, mencatat yang dilupakan, dan menyulam ulang narasi besar dengan benang-benang kecil kehidupan manusia sehari-hari.

Penambahan-penambahan ini mengajak kita untuk memandang sejarah bukan hanya dari catatan-catatan yang tersimpan di arsip negara, tetapi juga dari fiksi, puisi, dan narasi-narasi yang hidup di tengah masyarakat. Sastra bukan pelengkap yang bisa diabaikan, melainkan bagian integral dari cara kita mengenali siapa kita, dari mana kita berasal, dan luka apa yang belum selesai kita sembuhkan sebagai bangsa.





Source link

beritajakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *