Elite yang Tidak Kompeten dan Masalah Mis-Alokasi Talenta

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati – foto istimewa Oleh: Sulaiman Djaya, penyair Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Kabinet Merah…
1 Min Read 0 13


Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati – foto istimewa

Oleh: Sulaiman Djaya, penyair

Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Kabinet Merah Putih, Sri Mulyani, bicara tentang kemiripan antara pajak dan zakat, bahkan cenderung berusaha menganalogikan pajak dengan zakat. Kengawuran Sri Mulyani yang menganalogikan pajak dengan zakat, tak boleh dianggap remeh.

Itu memiliki ragam kemungkinan: ketakpahaman ekonomi, inkompetensi hingga politisasi agama. Meski demikian, saya tak mau bersikap sarkastis terhadapnya seperti halnya beberapa teman saya yang mendapuk-nya sebagai SPG (Sales Promotion Girl)-nya IMF (International Monetary Fund) dan World Bank. Namun demikian, dengan tulisan ini, saya sebenarnya ingin bicara ngalor-ngidul saja terkait keprihatinan saya atas Indonesia.

Negara bangsa ini, yah Indonesia, sebenarnya sedang mengalami rongrongan dari berbagai sisi: sosial-ekonomi-politik serta sisi kultural-keagamaan, yang jika kita tidak memahami jati diri kita sebagai sebuah bangsa yang unik, memiliki kecerdasan dan falsafah jenuin-nya, niscaya akan ambruk, dan tak lebih menjadi sebuah geografi yang kehilangan identitas dan ideologinya. Di sinilah perlu kembali ditegaskan bahwa ideologi dan falsafah kita bukan liberalisme, neoliberalisme, atau pun komunisme, tetapi ideologi keadaban dan kemanusiaan yang telah tertuang dalam Pancasila dan UUD 45.

Sayangnya, elite-elite Negara bangsa ini bukanlah mereka yang menjalankan amanat dan pengamal falsafah serta ideologi Negara bangsa sendiri. Alih-alih mereka hanya menjadi ‘perpanjangan’ tangan dari ideologi-ideologi ekonomi-politik dan paham-paham imporan seperti neoliberalisme yang membuat Negara bangsa ini tak punya jatidiri dan menjadi pelayan oligarkhi dan korporasi global ketika menetapkan kebijakan-kebijakan neoliberal, seperti privatisasi aset-aset publik dan pencabutan subsidi sosial –sembari mengorbankan kepentingan nasional yang utama, yaitu kesejahteraan rakyat.

Negara bangsa ini merupakan geografi dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, yang karenanya menjadi sasaran upaya ‘konsumerisasi’ atau upaya menjadikan warga Negara ini hanya sebagai konsumen oleh perusahaan-perusahaan multinasional, hanya menjadi pasar konsumen semata, yang pada saat bersamaan, sejumlah kebijakan pemerintah lebih berpihak kepada korporasi global yang mengorbankan kepentingan nasional, bukannya kepada sektor-sektor yang digarap dan dikelola rakyat, seperti kebijakan yang pro-petani, nelayan, dan usaha-usaha rakyat kecil serta industri manufaktur dalam negeri yang akan meningkatkan ekspor dan daya-saing.

Dari segi politik, dalam sistem dan mekanisme demokrasi neo-liberal yang dipraktikkan di Indonesia saat ini, banyak mereka yang tidak kompeten dengan modal kapital dari korupsi menjadi para elit karena didukung partai politik untuk kembali korupsi. Mereka yang menjadi para menteri di kabinet presiden dan wakil presiden Indonesia yang terpilih berasal dari orang-orang partai politik yang tidak kompeten ini. Begitu pun posisi-posisi strategis lainnya akan menyingkirkan mereka yang kompeten dan kapabel karena mereka bukan bagian dari ‘orang dalam’ atau bagian dari partai politik dan jaringan loyalis lainnya yang serupa. Inilah yang dalam istilah populer disebut sebagai talent misallocation atau masalah mis-alokasi talenta, yaitu ketika orang-orang yang kompeten justru tersingkir dan tidak diberdayakan oleh Negara.

Jika demikian, adalah nonsense belaka slogan meritokrasi dalam birokrasi dan pemerintahan. Sebab, pada kenyataannya pos-pos penting kebijakan dalam birokrasi dan pemerintahan mayoritas diisi orang-orang yang lebih akrab dengan kasak-kusuk ketimbang oleh mereka yang kompeten dan kapabel, mereka yang memiliki khazanah, memahami persoalan-persoalan penting dan tahu mengatasinya. Tahu kebijakan apa yang harus mereka tetapkan dan terapkan. Sayangnya, pos-pos penting dalam birokrasi dan pemerintahan lebih sering diisi oleh mereka yang berada dalam jaringan loyalis para kandidat atau partai politik alias orang dalam. Dan itu juga yang terjadi tingkat pemerintahan pusat.

Terkait dengan hal itu, barangkali kita sangat layak untuk bertanya: apakah sebaiknya partai politik di Indonesia tidak mesti terlalu banyak? Ini mungkin pertanyaan sensitif tapi menjadi sangat penting karena aktual dengan situasi dan kondisi. Mereka merusak ekosistem sosial-politik hanya sebagai medan dan praktik transaksional belaka. Rakyat hanya dijadikan alat dan tidak diberi kesempatan untuk bersuara dan berpartisipasi dalam kebijakan yang justru akan sangat berdampak kepada mereka. Jawaban untuk pertanyaan tersebut tentu saja perlu dirembugkan secara matang.

Terkait Sri Mulyani, ia merupakan contoh ketidakkompetenan yang bukan dari kalangan partai politik, di saat banyak mereka yang profesional dan ahli yang sesungguhnya cocok untuk berada di posisi jabatannya. Pernyataan Sri Mulyani lainnya yang jelas dan terang menunjukkan ketakpahamannya terhadap konstitusi tertinggi Negara adalah: “guru adalah beban Negara…”, padahal pendidikan merupakan tulang-punggung dan fondasi utama kemajuan dan keberdayaan-kekuatan sebuah bangsa dan masyarakat.

Pernyataannya itu bertambah ironis dan miris di saat gaji anggota DPR naik berlipat-lipat, belum lagi ditambah tunjangan mereka yang tak kalah fantastis, gaji orang-orang BUMN yang justru banyak yang rugi dan korupsi.

Masalah mis-alokasi talenta ini yang menurut banyak pakar merupakan salah-satu faktor utama mandeg-nya Indonesia, jelang satu abad usianya. Mereka yang berprestasi dalam sains dan teknologi bahkan lebih memilih berkarir di luar negeri ketimbang di negeri sendiri. Yah karena mereka tahu bila pulang ke Indonesia justru tidak akan mendapatkan tempat yang akan menampung bakat dan kapasitas mereka. Yang untung malah Negara lain karena bisa memanfaatkan talenta-talenta berbakat Indonesia untuk kemajuan Negara mereka. Belum terciptanya ekosistem riset sains dan teknologi yang komprehensif juga merupakan kendala bagi lahirnya kreativitas dan inovasi Indonesia, dan investasi Negara masih sangat minim dalam bidang ini. Kalah jauh dengan Iran yang justru diembargo Barat, apalagi dengan Tiongkok, sebagai sesama Negara Asia. (*)





Source link

beritajakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *