Revolusi Pertanian di Kota Industri: Membangun Kemandirian Pangan di Tengah Keterbatasan Lahan

Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Fauzi Sanusi. (dok.pribadi) Oleh: Fauzi Sanusi*Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Ketika mendengar nama Cilegon, pikiran…
1 Min Read 0 11


Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Fauzi Sanusi. (dok.pribadi)

Oleh: Fauzi Sanusi
*Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Ketika mendengar nama Cilegon, pikiran kita langsung tertuju pada pabrik baja raksasa, cerobong industri, dan deretan kapal di pelabuhan. PDRB per kapitanya tinggi, bahkan masuk jajaran tertinggi di Indonesia. Namun, di balik kemegahan industri itu, ada satu persoalan yang jarang disorot: ketahanan pangan.

Sebagian besar beras, sayur, daging, bahkan cabai yang kita makan di Cilegon, berasal dari luar kota. Pandeglang, Lebak, Lampung, Jawa Tengah—itulah “dapur” Cilegon yang sebenarnya. Ironisnya, di beberapa lokasi, lahan sawah yang tersisa hanya mampu menghasilkan 3–4 ton gabah per hektare. Jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai 5–6 ton. Ini artinya, Cilegon ibarat kota kaya yang dapurnya masih mengandalkan kiriman dari tetangga.

Tulisan pendek ini saya rangkum dari berbagai diskusi di warung kopi, termasuk diskusi di forum DPRD Cilegon dan adanya fenomena kegairahan sebagian masyarakat Cilegon yang sudah menerapkan pola tanam padi dengan teknologi terbaru dan dukungan Walikota saat tanam padi yang diselenggarakan oleh sebuah Yayasan.

Bukan Mustahil, Tapi Perlu Cara Baru

Apakah Cilegon bisa swasembada pangan? Kalau yang dimaksud adalah 100% mandiri untuk semua kebutuhan pangan, jawabannya realistis: Tidak. Lahan kita terlalu terbatas, sebagian besar sudah menjadi kawasan industri dan permukiman.

Namun, jika targetnya kemandirian pangan parsial—memenuhi sebagian kebutuhan dari produksi lokal—peluang itu ada. Bahkan untuk padi sekalipun, selama ada revolusi cara bertani, impian itu menjadi bukan tidak mungkin.

Teknologi sebagai Jalan

Dengan teknologi pertanian yang tepat, produktivitas padi dapat digandakan. Varietas unggul seperti Inpari 42 atau IR Nutri Zinc mampu menghasilkan 7–8 ton/ha.

• Metode System of Rice Intensification (SRI) bisa mendekati 10 ton/ha.
• Konsep Padi IP400 memungkinkan empat kali panen dalam dua tahun.

Bayangkan jika produktivitas padi di Cilegon naik dari 3-4 ton menjadi 8-9 ton/ha. Dengan pengelolaan kelompok tani modern dan dukungan CSR industri untuk pembiayaan alat, benih, dan teknologi, kontribusi beras lokal bisa mencapai 20 sampai dengan 30% dari kebutuhan warga. Bukan angka kecil untuk kota seluas Cilegon.

Hal yang sama bisa berlaku untuk jagung. Jagung hibrida unggul mampu menghasilkan 7–9 ton per hektare dan sangat strategis sebagai bahan pangan olahan maupun pakan ternak.

Urban Farming

Lahan memang terbatas, tapi bukan berarti tak ada ruang. Urban farming dan vertical farming membuka peluang memanfaatkan atap gedung, halaman pabrik dan perkantoran, dan lahan sempit. Sayuran, palawija, hingga cabai bisa diproduksi di tengah kota. Pasarnya jelas: kantin pabrik, hotel, restoran, dan pasar modern.

Investasi hidroponik memang mahal. Tapi di Cilegon, beban itu tidak harus ditanggung masyarakat dan petani. Industri besar punya kewajiban CSR, dan ini bisa diarahkan ke proyek pangan berkelanjutan.

Kedaulatan Pangan ala Cilegon

Kita tidak harus memahami kedaulatan pangan secara sempit sebagai “memproduksi semua kebutuhan sendiri”. Dalam konteks Cilegon, kedaulatan pangan bisa berarti mengendalikan pasokan melalui kontrak jangka panjang dengan daerah penghasil. Jadi, bukan hanya membeli di pasar bebas, tapi mengamankan pasokan strategis dengan harga dan kualitas yang terjamin.

Jalan Tiga Tahap

1. 2025–2030: Mulai kemandirian pangan parsial—fokus pada revolusi pertanian padi dan jagung di lahan eksisting dengan teknologi modern.
o Gunakan varietas unggul berumur pendek dan metode intensifikasi seperti SRI dan Padi IP400 untuk meningkatkan hasil padi dari 2–3 ton menjadi minimal 6 ton per hektare.
o Kembangkan jagung hibrida bernilai tinggi yang bisa panen 7–9 ton per hektare, cocok untuk pakan ternak dan industri pangan olahan.
o Integrasikan pembiayaan CSR industri untuk alat, benih, pupuk, dan pelatihan petani.
o Koperasi pangan menjadi off-taker hasil panen dan memasok sarana pertanian untuk memastikan produktivitas dan terserapnya produksi lokal termasuk kesejahteraan petani.

2. 2030–2035: Perluas kemandirian pangan parsial ke komoditas hortikultura dan perikanan.
o Urban farming di atap pabrik dan pekarangan warga.
o Budidaya ikan laut dan air tawar dengan sistem modern.

3. 2035–2045: Kendalikan pasokan pangan strategis.
o Kontrak pasok multi-tahun dengan daerah penghasil.
o BUMD dan Koperasi pangan menjadi pengendali distribusi dan harga.

Penutup

Kita sering bangga menyebut Cilegon sebagai kota industri kelas dunia. Sejatinya ukuran kemajuan bukan hanya dari baja yang kita hasilkan, melainkan juga dari nasi dan sayuran yang kita santap. Revolusi pertanian di kota industri bukan mimpi, asal ada kemauan politik, dukungan industri, dan keberanian mencoba cara baru.

Cilegon harus membuktikan: di tengah gemuruh mesin industri, kita tetap bisa menanam, memanen, dan memberi makan warga dengan tangan kita sendiri. (*)





Source link

beritajakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *