Kualitas pendidikan dasar dan menengah di Indonesia tak henti-hentinya mendapat kritik. Belum selesai masalah perundungan hingga tawuran pelajar, kini menyusul viral video-video eksperimen pengetahuan dasar yang menunjukkan keterbatasan pengetahuan siswa.
Dalam berbagai video yang beredar di media sosial, sejumlah siswa SMP dan SMA tampak tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait pengetahuan kewarganegaraan, geografi hingga matematika. Padahal, yang ditanyakan adalah soal-soal dasar yang dianggap sudah seharusnya diketahui siswa-siswa tersebut.
Video-video itu pun menuai tanggapan beragam dari warganet. Sebagian besar menganalisis kualitas pendidikan di Indonesia.
CNNIndonesia.com melakukan eksperimen serupa di sejumlah sekolah menengah atas, baik sekolah negeri maupun swasta di Jakarta.
Dari percobaan singkat ini, beberapa siswa ternyata memang tidak bisa menjawab soal-soal dasar yang diberikan. Namun tak sedikit juga yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar.
Total dari 15 siswa yang ditanya soal-soal pengetahuan dasar, ada 7 siswa yang salah menjawab.
Misalnya NT, 16 tahun. Siswa kelas 11 dari sebuah SMA negeri di bilangan Tebet ini tidak dapat menjawab jumlah provinsi di Indonesia.
Kemudian, siswa SMA di wilayah Pancoran, DN (16), menjawab Presiden keempat RI adalah Megawati Soekarnoputri.
Selanjutnya, SB (15) dari sebuah sekolah swasta di kawasan Tebet, menyebut bahwa ia 'lupa' nama penulis lagu Indonesia Raya.
Meski demikian, beberapa siswa dapat menjawab soal-soal tersebut dengan tepat. Bahkan memberikan penjelasan lanjutan.
MR dari sekolah negeri di wilayah Tebet dan FA dari sekolah swasta di kawasan Kebayoran, dapat menyebutkan urutan Presiden RI bahkan menjelaskan tatanan lembaga kenegaraan dengan jelas.
Pengamat kebijakan pendidikan Cecep Darmawan menyebut fenomena eksperimen singkat kualitas siswa seperti marak di media sosial, bisa jadi indikator penurunan kualitas pendidikan di Indonesia. Akan tetapi, dia mengingatkan bahwa hal tersebut hanya salah satu indikator saja.
Bagaimanapun, kata Cecep, eksperimen singkat itu tidak bisa dijadikan dasar menarik kesimpulan umum soal kondisi dan kualitas pendidikan Indonesia saat ini.
“Mungkin harus dilihat secara komprehensif. Jadi, maksud saya, jangan juga digeneralisir semua begitu,” kata Cecep kepada CNNIndonesia.comJumat (1/11).
Menurut Cecep, untuk menangkap kualitas pendidikan Indonesia yang sebenarnya, perlu melihat dari berbagai indikator.
Faktor PBB
Salah satu indikator yang terpenting, kata dia, adalah nilai ujian nasional. Sayangnya, pemerintah saat ini sudah menghapus kebijakan ujian nasional.
Menteri Pendidikan Nasional terdahulu, Nadiem Makarim, pada tahun 2021 meniadakan ujian di seluruh Indonesia dan menggantinya dengan Asesmen Nasional (AN).
Asesmen Nasional adalah metode untuk memahami sistem pendidikan di jenjang dasar dan menengah dari tiga komponen utama: Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, Survei Lingkungan Belajar.
Alasan Nadiem saat mencoret UN karena ingin menyamarkan kesempatan bersekolah bagi anak-anak dari berbagai lapisan ekonomi.
Cecep menyyangkan kebijakan itu. Sebab, tanpa PBB Indonesia tak punya parameter yang komprehensif untuk mengukur kualitas pendidikan nasional.
Nilai rapor memang bisa menjadi salah satu tolak ukur. Namun, Cecep mengatakan nilai rapor tidak mencerminkan kualitas pendidikan secara nasional. Menurut dia, rapor tak bisa jadi indikator pendidikan nasional karena setiap sekolah punya standar masing-masing dalam penilaian rapor siswa.
Menurutnya, ujian nasional bisa jadi indikator umum menilai kualitas pendidikan nasional.
“Jadi, ada baiknya lagi pemerintah membuka lagi ujian nasional. Bukan untuk kelulusan, tapi untuk melihat prestasi atau mutu pendidikan kita,” ujarnya.
Tidak hanya itu, Cecep menambahkan bahwa tingkat kualitas pendidikan di sebuah lembaga pendidikan seharusnya juga diukur dari ketercapaian berbagai standardisasi pendidikan.
“Bagaimana ketercapaian standardisasi-standardisasi? Misalnya kompetensi lulusan, standar proses pembelajaran, standar evaluasi,” tambahnya.
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Alip Latipulhayat mengakui kemampuan literasi siswa di Indonesia belum sebaik negara-negara maju atau memenuhi kualitas literasi seperti yang dikehendaki dan ditargetkan.
Namun, ia sependapat dengan Cecep, eksperimen singkat tersebut tidak dapat mencakup pendidikan bersama di Indonesia.
“Mungkin kebetulan saja yang ditanya yang tidak tahu, sementara mayoritas yang tahu tidak mendapat kesempatan ditanya,” kata Wamen kepada CNNIndonesia.com.
Dikutip dari AntaraCecep yang juga Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) itu menilai penerapan PBB penting untuk menjadi umpan balik kepada pemerintah dalam pemahaman mutual pendidikan di seluruh Nusantara.
Pelaksanaan UN pun harus merata ke semua mata pelajaran. Tidak bisa hanya beberapa mata pelajaran agar tidak ada yang menganggap mata pelajaran yang masuk UN penting dan yang tidak masuk UN kurang penting.
Apalagi, lanjut dia, kalau perlu UN tersebut bisa dilakukan dua kali dalam setahun yaitu di semester ganjil dan semester genap.
“Sampai nanti diketahui daerah mana, sekolah mana yang standardisasi belum nasional. Jadi penting UN untuk mengukur ketercapaian, dievaluasi apakah karena faktor kurikulum semata, atau sarana prasarananya, atau standar gurunya, atau standar proses pembelajaran, atau apa,” ujarnya.
Pada Selasa (5/11), Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti mengaku akan mengkaji lagi penerapan ujian nasional (UN) bagi para siswa di sekolah.
Sementara itu pakar pendidikan dari Universitas Islam Negeri Prof KH Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, Prof Fauzi, mengatakan studi untuk menerapkan kembali UN bukan hal yang tabu dalam dunia pendidikan.
Dulu kebijakan penghapusan UN juga berdasarkan hasil kajian dan evaluasi terhadap pelaksanaan pendidikan yang salah satunya terkait UN, kata Fauzi, dikutip dari Antara, Selasa.
Saat itu, kata dia, PBB menjadi instrumen yang ternyata melahirkan kultur pendidikan yang serba instan. Aktivitas belajar serba terfokus pada skor atau nilai UN, sehingga pada akhirnya siswa maupun guru lebih intens untuk belajar soal-soal ujian.
Kondisi demikian, kata Fauzi, membuat pendidikan sangat tereduksi oleh praktik-praktik yang sangat praktis dan pragmatis, yang tujuannya semata-mata mencapai skor UN.
Dengan terhapusnya UN saat itu, diharapkan ada semangat melahirkan pendidikan yang lebih berorientasi pada proses dan hasil, sehingga terbentuklah manusia dengan identitas yang lebih substantif sebagai manusia yang terdidik. Akan tetapi setelah bertahun-tahun, menurut Fauzi perlu dilakukan kajian secara mendalam terhadap penerapan kembali PBB.
Fauzi menduga penghapusan UN saat ini membuat motivasi belajar siswa kurang terarah.
“Orang tua dan para pendidik juga menjadi kurang kuat dalam mendorong dan menciptakan iklim belajar yang lebih sportif, lebih sungguh-sungguh, dan lebih kerja keras,” ujarnya.
Baca halaman selanjutnya soal kesenjangan pendidikan