Peringati Hari Santri, Pj Gubernur Jatim Soroti Kekerasan & Pelecehan




Surabaya, CNN Indonesia

Pj Gubernur Jawa Timur (Jatim) Adhy Karyono menyoroti aksi kekerasan di lingkungan pondok pesantren.

Hal itu ia sampaikan usai upacara memimpin Hari Santri di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Selasa (22/10) pagi.

Pj Gubernur Jatim itu mengatakan, aksi kekerasan atau intimidasi di lingkungan pesantren tak boleh terjadi lagi, baik yang dilakukan senior maupun ustaz atau pengasuh.

IKLAN

GULIR UNTUK MELANJUTKAN ISI

“Kita harus melihat isu yang ada, salah satunya adalah di pesantren yang masih ada tindak kekerasan, intimidasibaik oleh pengasuh atau oleh kakak tingkat ya, ini seharusnya tidak bisa [terjadi] lagi,” kata Adhy.

Atas dasar itu, Adhy pun mendorong agar pengawasan dan keamanan di pondok pesantren lebih ditingkatkan. Dia pun meminta agar hukum juga diberikan kepada para pelaku kekerasan di lingkungan pondok pesantren. Hal itu, katanya, untuk memberikan rasa aman bagi para santri dalam menempuh pendidikan.

“Oleh karena itu pertama dengan tindakan hukum yang adil ya, yang kedua kita melakukan sosialisasi bahwa mereka sama, lembaga pendidikan di pesantren harus sama dengan formal baik kode etik, aturan maupun penerimaan pada mereka,” kata dia.

“Mereka bukan hanya menyantri tapi betul-betul siswa sehingga mereka punya hak memperoleh pendidikan, mendapat perlakuan yang baik untuk bisa masa depannya menjadi lebih baik,” tambah Adhy.

Deret kasus kekerasan di pesantren Jatim

Kasus kekerasan marak diberitakan terjadi di lingkungan pesantren yang ada di Jatim beberapa tahun terakhir. Dalam beberapa kejadian, korban bahkan sampai meninggal dunia.

Salah satu kejadian yang menarik perhatian adalah meninggalnya seorang santri Pesantren PPTQ Al Hanifiyyah, Mojo, Kabupaten Kediri, bernama Bintang Balqis Maulana (14). Santri asal Desa Karangharjo, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi itu awalnya disampaikan pihak pesantren meninggal setelah terpeleset di kamar mandi.

Awalnya, pihak pesantren dan pengantar jenazah menyebut Bintang meninggal setelah jatuh terpeleset di kamar mandi. Tapi keluarga curiga setelah melihat darah yang mengucur dari keranda jenazah. Saat kain kafan dibuka, terlihat luka dan luka di sekujur tubuh korban.

Polres Kediri Kota pun menetapkan empat tersangka dalam kematian Bintang. Mereka yakni MN (18) asal Sidoarjo, MA (18) asal Nganjuk, AK (17) dari Kota Surabaya dan AF (16) sepupu korban asal Denpasar.

Kasus kekerasan di lingkungan pesantren di wilayah Jatim juga dialami santri inisial KAF (14) di sebuah pondok pesantren di Desa Bacem, Kecamatan Ponggok, Blitar. Santri itu meninggal setelah dilempar kayu berpaku oleh ustaz atau gurunya sendiri, Minggu (15/9).

Dari pemeriksaan polisi diketahui santri sekaligus siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) berusia 14 tahun asal Blitar itu dilempar oleh ustaz berisinial U dengan kayu yang tertancap sejumlah paku, karena tak segera melaksanakan Salat Dhuha.

Akibat lemparan kayu tersebut, korban langsung tak sadarkan diri. Dia pun dilarikan ke RSUD Srengat Kabupaten Blitar hingga RSUD Kabupaten Kediri (RSKK). Namun nyawanya tak tertolong karena sudah mengalami pendarahan parah.

“Karena santri tersebut tidak segera meninggalkan mainnya kemudian ustaz tersebut mengambil kayu dan melemparkan ke santri tersebut. Kebetulan pada saat itu korban lewat, akhirnya korban itu lewat dan mengenai kepala bagian belakang, kayu tersebut ada pakunya,” kata Kasi Humas Polres Blitar Kota Iptu Samsul Anwar kepada awak media beberapa waktu lalu.

Kekerasan lain di lingkungan ponpes di Jatim adalah di Kecamatan Karangan, Kabupaten Trenggalek. Setidaknya 12 santriwati di ponpes tersebut diduga jadi korban pencabulan oleh pengasuh pesantren M (72) dan anaknya, F (37).

Tersangka M merupakan pengasuh di salah satu Ponpes di Kecamatan Karangan, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Sedangkan tersangka F adalah putra dari M.

Berdasarkan pemeriksaan polisi, terungkap modus yang dilakukan M adalah dengan mengiming-imingi korban sejumlah uang kepada korban.

Sedangkan tersangka F disebut mengelabui santriwati korbannya dengan menyuruh mereka membersihkan-bersihkan ruangan tertentu terlebih dahulu. Lalu ia pun melancarkan aksi bejatnya.

Hingga kini setidaknya ada 12 korban dari tersangka M dan F. Para korban itu ada yang mendapatkan perlakuan tak senonoh sebanyak sekali, ada pula yang sampai dua kali.

Santri generasi multitalenta

Selain itu, dalam peringatan Hari Santri Nasional 2024 itu, Adhy berharap bahwa tugas para santri selain mempelajari agama lebih dalam juga harus mengikuti perkembangan ilmu teknologi dan menjadi generasi yang multitalenta.

“Seperti apa yang disampaikan Menteri Agama bahwa santri harus bisa menjadi apa saja, bagaimana bisa mengikuti perkembangan ilmu teknologi dan menjadi profesi yang sekarang sedang tren,” katanya.

Adapun puncak Peringatan Hari Santri Nasional 2024 di Surabaya adalah gelaran Drama Kolosal berjudul 'Resolusi Jihad fii Sabilillah' di Tugu Pahlawan, Selasa malam kemarin. Sedangkan drama kolosal itu digelar mulai pukul 19.00 WIB.

Drama ini mengangkat kisah dari buku 'Sejarah Resolusi Jihad NU, Perang Sabil di Surabaya Tahun 1945' yang ditulis oleh Sejarawan NU, Riadi Ngasinan. Dia juga berperan sebagai Supervisor Naskah, sementara Heri Prasetyo menjadi sutradara, dan Khwarizmi Aslamriadi, sebagai asisten sutradara.

Pertunjukan ini melibatkan seniman Nahdliyin serta aktivis dari Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) NU di Surabaya. Serta siswa dari madrasah dan sekolah-sekolah di bawah Lembaga Pendidikan Ma'arif Kota Surabaya.

“Kami mendapat amanah PBNU untuk mementaskan Drama Kolosal menandai peristiwa bersejarah Resolusi Jihad NU, tanggal 22 Oktober 1945, yang kini ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional,” kata Ketua PCNU Kota Surabaya Masduki Toha.

Buku Sejarah Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama dan Perang Sabil di Surabaya Tahun 1945 menjelaskan tentang rentetan peristiwa Resolusi Jihad NU yang berakhir pada Pertempuran 10 November 1945.

Pertempuran tersebut tidak terlepas dari kontribusi berbagai elemen masyarakat, termasuk kaum santri, kiai, dan orang-orang pesantren.

Mereka secara organik bergabung dalam Laskar Hizbullah yang beranggotakan santri, serta Laskar Sabilillah yang diisi oleh kiai-kiai, setelah mendapat seruan jihad dari Kiai Muhammad Hasyim Asy'ari, Rais Akbar NU. Fatwa jihad ini menjadi dasar dikeluarkannya Resolusi Jihad NU pada tanggal 22 Oktober 1945.

Laskar Hizbullah yang terdiri dari santri-santri sudah mendapatkan pelatihan selama pendudukan Jepang di Cibarusah, dekat Bogor, pada tahun 1944, bersamaan dengan terbentuknya tentara Pembela Tanah Air (PETA).

Ketika Republik Indonesia yang baru diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 menghadapi ancaman dari Sekutu yang diboncengi tentara NICA (Belanda), para santri bersama Arek-Arek Suroboyo terpanggil untuk berjuang.

Keterkaitan spiritual antara Fatwa Jihad Kiai Hasyim Asy'ari dan Resolusi Jihad NU terbukti ketika Bung Tomo, dalam Pidato-pidato radio yang menggugah semangat juang Arek-Arek Surabaya, selalu mengawali dengan Basmalah (Bismillahirrahmanirrahim) dan Takbir (Allahu akbar) sebanyak tiga kali.

Resolusi Jihad NU yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945, yang kini diperingati sebagai Hari Santri Nasional, menjadi katalisator Perang Sabil bagi kaum santri dan kiai pada Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

(frd/anak-anak)

[Gambas:Video CNN]






Source link

Leave a Comment