Jakarta, CNN Indonesia —
Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menko Kumham) Yusril Ihza Mahendra menyebut peristiwa 98 bukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Yusril mengatakan pelanggaran HAM berat terakhir terjadi saat masa penjajahan. Menurutnya, hal itu tidak terjadi lagi dalam beberapa puluh tahun terakhir.
“Dalam beberapa dekade terakhir ini hampir bisa dikatakan tidak ada kasus-kasus pelanggaran HAM berat,” kata Yusril di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (21/10).
“Enggak,” kata Yusril saat ditanya apakah peristiwa 98 termasuk pelanggaran HAM berat.
Yusril menjelaskan setiap kejahatan adalah pelanggaran HAM. Namun, tidak semua kejahatan termasuk pelanggaran HAM berat.
Mantan Ketua Umum PBB mengatakan pernah menangani kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat saat menjabat menteri kehakiman dan HAM pada awal reformasi. Ia menjalani sidang di Komisi HAM PBB di Jenewa selama tiga tahun.
Yusril juga sudah membentuk pengadilan HAM, baik ad hoc maupun konvensional. Dia pun membentuk komite kebenaran dan rekonsiliasi.
“Jadi, sebenarnya kita tidak menghadapi masalah pelanggaran HAM yang berat dalam beberapa tahun terakhir,” ujarnya.
Sebelumnya, peristiwa 98 kembali menjadi sorotan publik setelah terpilihnya Prabowo Subianto menjadi presiden. Prabowo dikenal sebagai sosok yang diduga terlibat dalam penghapusan paksaan aktivisme pada tahun 1998.
Panglima ABRI Jenderal Wiranto membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk memeriksa tujuh tudingan terhadap Prabowo, termasuk propagandaan aktivisme.
DKP menyatakan Prabowo bersalah dalam keputusan nomor KEP/03/VIII/1998/DKP. Prabowo diberhentikan dari dinas kemiliteran. Namun, kasus penghapusan paksa dianggap belum terselesaikan.
Pemerintahan Presiden Jokowi sebenarnya sudah mengakui ada 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Tiga di antaranya terjadi sekitar tahun 1998.
Pertama, menembaki mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998. Lalu melepaskan 13-15 Mei 1998. Ketiga, menghilangkan paksa 14 orang pada 1997-1998.
(dhf/fra)