Jakarta, CNN Indonesia —
Salah satu catatan di bidang hukum dari 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dari tahun 2014-2024 adalah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lembaga pemberantasan korupsi yang lahir di era Kepresidenan Megawati Soekarnoputri pada tahun 2002 lalu dinilai tak lagi segarang dulu, kepercayaan rakyat pun kian luntur.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN ISI
Revisi UU KPK
Titik krusial pelemahan KPK terjadi sekitar sebulan sebelum periode kedua Jokowi pada tahun 2019 silam. Pada tanggal 5 September 2019, rapat paripurna DPR menyetujui revisi Undang-Undang KPK sebagai inisiatif DPR.
Agenda itu muncul tiba-tiba, tanpa ada pembicaraan sebelumnya. DPR menyiapkan pembahasan itu secara tertutup. Saat itu, awak media massa baru tahu agenda pembahasan tersebut sepuluh menit sebelum rapat dimulai.
Beberapa poin krusial dalam revisi itu adalah KPK berubah dari lembaga rumpun eksekutif dan pegawainya menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Munculnya Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang lebih berwenang daripada pimpinan. Apalagi penyadapan harus mengantongi izin Dewas.
Operasi tangkap tangan (OTT) yang menjadi salah satu senjata KPK dalam memberantas korupsi pun jadi sulit dilakukan karena hal itu. Selain itu, penyelidik tak lagi berwenang mengajukan pencekalan ke luar negeri bagi pihak yang diduga terkait dengan tindak pidana korupsi. Hal itu juga diperkuat dengan revisi UU Imigrasi yang baru disahkan pada tahun 2024 ini, dimana pencekalan hanya dapat dilakukan pada proses penyidikan.
UU KPK terbaru juga mengatur ketentuan pemusnahan seketika penyadapan yang tidak terkait perkara. Lalu ada ancaman pidana bagi pihak yang menyadap dan menyimpan hasilnya.
Pada tahun 2019 silam, meski ditentang banyak pihak, DPR tetap membahas revisi UU KPK. Apalagi mereka hanya butuh waktu 13 hari membahasnya. Pada rapat paripurna 17 September 2019, DPR mengesahkan undang-undang tersebut tanpa mempedulikan aksi yang menggeliat di sejumlah kota Indonesia dengan slogan 'Reformasi Dikorupsi'.
“Dua puluh enam poin ini kami pandang sangat berisiko menimbulkan atau bahkan berisiko dapat melumpuhkan Kerja KPK. Karena beberapa kewenangan yang dikurangi adalah kewenangan pokok dalam melaksanakan tugas selama ini,” ungkap Febri Diansyah yang saat itu Juru Bicara KPK menanggapi pengesahan itu.
Belakangan, Febri kemudian mundur dari lembaga itu.
#ReformasiDikorupsi
Sepanjang pembahasan kilat RUU KPK, Jokowi tak melakukan apa pun untuk mencegah. Dia hanya mengatakan revisi itu inisiatif DPR. Padahal perselisihan pemerintahan Jokowi di DPR saat itu cukup besar.
“Ketika ada inisiatif DPR memajukan RUU KPK, maka tugas pemerintah adalah meresponsnya, menyiapkan DIM, dan menugaskan menteri untuk mewakili presiden dalam pembahasan DPR,” kata Jokowi, Jumat, 13 September 2019.
Rakyat bergejolak. Aksi demonstrasi dengan tajuk #ReformasiDikorupsi menggelar mahasiswa dan aktivis masyarakat sipil di berbagai daerah. Tokoh-tokoh bangsa juga angkat bicara menuntut Jokowi membatalkan revisi UU KPK.
Pada 27 September 2019, Jokowi sempat menerima sejumlah tokoh bangsa di istana. Beberapa di antaranya Quraish Shihab, Emil Salim, Mahfud MD, Frans Magnis Suseno, Goenawan Mohammad, Azzumardi Azra, Alisa Wahid, Hasan Wirayudha, Butet Kartarajasa, Jajang C Noer, dan Christine Hakim.
Dalam pertemuan itu, ia mengatakan sedang mempertimbangkan untuk mempublikasikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang KPK. Namun, hingga saat ini janji itu hanyalah janji.
Banyak sekali masukan-masukan juga yang diberikan kepada kita, utamanya memang memasukkan itu berupa publikasi Perppu. Tentu saja ini akan segera kita hitung, kita kalkulasi, dan nanti setelah kita putuskan akan juga kami sampaikan kepada para senior dan guru-guru saya yang hadir pada sore hari,” ujar Jokowi usai pertemuan tersebut.
Jokowi memang tak menandatangani revisi UU KPK. Namun, undang-undang itu tetap berlaku per 17 Oktober 2019 berdasarkan ketentuan peraturan-undangan jadi UU Nomor 19 Tahun 2019.
Baca halaman selanjutnya
Pemecatan Novel Baswedan dkk
Efek domino revisi UU KPK mulai bergulir. Pada tahun 2021, KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri melaksanakan tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam rangka pengintaian status pegawai menjadi ASN.
Saat itu, 75 orang pegawai dinyatakan tidak lulus. KPK berencana membina 24 orang di antaranya, sedangkan sisanya tetap dinyatakan tak lulus.
Hal itu membuat geger publik. Pasalnya, sejumlah pegawai yang menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi saat itu ikut tak diloloskan. Misalnya, Novel Baswedan yang dikenal masyarakat sebagai aktor di balik sejumlah kasus korupsi besar.
Ada nama lain yang ikut tak lolos, seperti Harun Al Rasyid. Harun dikenal sebagai penyidik dengan julukan “Raja OTT”.
Total ada sekitar 57 orang yang tak lolos TWK. Mereka melakukan perlawanan dengan membentuk organisasi IM57+. Organisasi itu mengungkap sejumlah kebobrokan pelaksanaan TWK KPK.
“Sebut saja misalnya skandal TWK KPK, sebagai kelanjutan dari pelemahan KPK melalui revisi UU KPK. Presiden Jokowi bahkan tidak menggubris rekomendasi Ombudsman serta Komnas HAM sama sekali untuk membatalkan kebijakan pemecatan sewenang-wenang pegawai KPK,” kata Peneliti ICW Lalola Easter, Selasa, 19 Oktober 2021.
Polemik TWK KPK terus bergulir. Presiden Jokowi sempat menyatakan hasil TWK KPK seharusnya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK. Jokowi juga mengatakan TWK seharusnya “Tidak serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes.”
Meski begitu, KPK tetap memecat Novel Baswedan dkk. Polemik menyurutkan setelah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo merekrut 44 orang mantan pegawai KPK itu menjadi ASN Polri. Sejumlah mantan pegawai KPK lainnya telah pensiun dan ada yang menolak tawaran Polri.
Ketua KPK terlibat korupsi
Catatan paling kelam di era pelemahan KPK adalah Ketua KPK Firli Bahuri terjerat kasus korupsi. Hal itu terjadi setelah ia berulang kali lolos dugaan pelanggaran etik di Dewan Pengawas KPK.
Kasus Firli bermula dari dugaan dugaan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Pada 12 Agustus 2023, Polda Metro Jaya menerima dugaan pemerasan oleh pimpinan KPK dalam kasus tersebut.
Kepolisian memeriksa 91 orang Saksi dan 7 ahli. Polda Metro Jaya juga memeriksa Firli Bahuri sebanyak dua kali. Pada 22 November 2023, Polda Metro Jaya menetapkan Firli sebagai tersangka pemerasan terhadap SYL, penerimaan gratifikasi, dan penerimaan suap.
Firli disebut meminta Rp50 miliar ke SYL. Hal itu terungkap saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) eks Aide-de-camp (ADC) atau ajudan SYL Panji Harjanto.
Akhir tahun 2023, Polda Metro Jaya sudah melimpahkan berkas kasus Firli ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Namun, kejaksaan mengembalikan berkas-berkas itu pada 2 Februari 2024 dengan alasan belum lengkap.
Sebelum Firli, pimpinan KPK yang dilantik Jokowi bersamaan dengan mantan jenderal polisi itu, Lili Pintauli Siregar pun melontarkan dugaan etik terkait tiket MotoGP. Namun, Dewas tidak memproses Lili karena yang bersangkutan memilih membatalkan diri lebih dulu.
Penggantinya, Johanis Tanak pun setali tiga uang sempat diproses etik oleh Dewas KPK terkait dugaan komunikasi dengan pejabat ESDM. Namun, Dewas akhirnya memutuskan eks jaksa itu tidak bersalah.
Lain halnya dengan pimpinan KPK lainnya saat ini, Nurul Ghufron, di mana Dewas KPK memutuskan bersalah secara etik menggunakan pengaruh untuk mempengaruhi netralitas atau promosi jabatan di lingkungan Kementan.
Firli Bahuri menutup wajah dengan tas di dalam mobil menghindari kamera wartawan yang menunggunya diperiksa di Bareskrim terkait pertemuan dengan Syahrul Yasin Limpo, menteri pertanian yang jadi pembelaan tipikor beberapa waktu lalu. (CNN Indonesia/Taufiq Hidayatullah)
|
Kepercayaan ke KPK merosot
Jokowi memulai era pemerintahannya dengan kenaikan indeks persepsi korupsi (IPK). Pada indeks yang dirilis Transparency International tahun 2015, skor Indonesia 34.
Angka itu sempat mengalami stagnasi pada tahun 2017, namun terus meningkat hingga akhir periode pertama pemerintahan Jokowi. IPK Indonesia pada tahun 2019 berada di angka 40.
Penurunan IPK Indonesia terjadi di era kedua pemerintahan Jokowi. Pada tahun 2020, IPK Indonesia turun ke angka 37. Skor itu sempat naik satu poin di tahun berikutnya.
Meski begitu, angka persepsi persepsi Indonesia kembali anjlok di tahun 2022 hingga saat ini. IPK terbaru menunjukkan skor 34. Peringkat Indonesia merosot dari 110 menjadi 115.
Indonesia Corruption Watch (ICW) melihat ada sejumlah faktor menurunnya IPK Indonesia. Salah satunya sikap Jokowi yang membiarkan Pelemahan KPK.
“Setiap peristiwa yang terjadi di KPK, khususnya menyangkut buruknya tata kelola kelembagaan, Presiden harus mengambil tindakan. Akan tetapi, hal tersebut juga tidak digarap. Akibatnya, kinerja KPK menurun, bahkan kepercayaan masyarakat menurun tajam belakangan waktu terakhir,” ujar ICW di situs resmi mereka.
ICW juga melihat keruntuhan KPK karena lemahnya internal KPK saat ini. Mereka menyinggung kasus korupsi Firli Bahuri. Begitu pula kasus korupsi yang melibatkan pegawai KPK di rumah tahanan.
“Komitmen pemberantasan korupsi dari aparat penegak hukum semakin rendah. Sebut saja KPK, di mana tahun 2023 menjadi periode terburuk sepanjang sejarah karena Ketua KPK, Firli Bahuri, ditetapkan sebagai Tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi oleh Polda Metro Jaya,” ujar ICW.
Istana menegaskan komitmen Jokowi dalan memperkuat KPK dan pemberantasan korupsi.
“Jadi kita semua sebenarnya setuju termasuk Presiden itu mendorong penguatan KPK itu dijalankan dan kita lakukan secara bersama-sama, baik itu oleh pemerintah, oleh DPR, dan juga oleh masyarakat sipil,” ucap Ari Dwipayana, Koordinator Staf Khusus Presiden.