Pendapatan Daerah di Bawah Bayang-Bayang Otonomi Setengah Hati

Pegiat Literasi dan Kebijakan Publik, Moch. Nasir Rosyid SH. (dok.pribadi) Oleh : Moch. Nasir Rosyid SH,Pegiat Literasi dan Kebijakan Publik…
1 Min Read 0 10


Pegiat Literasi dan Kebijakan Publik, Moch. Nasir Rosyid SH. (dok.pribadi)

Oleh : Moch. Nasir Rosyid SH,
Pegiat Literasi dan Kebijakan Publik

Cilegon dikenal sebagai kota industri dengan segudang pabrik baja dan kimia raksasa hingga investasi bernilai triliunan. Secara logika, kota ini seharusnya menjadi lumbung Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun realitasnya justru menunjukkan sebuah paradoks, PAD tahun 2024 hanya mencapai Rp751,7 miliar atau sekitar 35% dari total pendapatan daerah. Selebihnya, 62% berasal dari dana transfer pusat dan provinsi, sementara sisanya dari pendapatan lain-lain.

Angka ini menegaskan satu hal: keuangan Cilegon masih hidup di bawah ketergantungan transfer pusat dan provinsi, bukan bertumpu pada kekuatan PAD yang seharusnya tumbuh di kota industri.

Ketergantungan fiskal daerah di hampir seluruh daerah di Indonesia, bukan semata karena lemahnya internal pengelolaan, melainkan juga akibat kebijakan pusat yang disebut “otonomi setengah hati.” Banyak potensi strategis yang mestinya bisa menjadi sumber PAD justru ditarik ke pusat atau provinsi. Padahal dalam otonomi terdapat prinsip bahwa daerah punya hak untuk mengatur rumah tangga sendiri termasuk di dalamnya masalah pembangunan. Namun sayangnya, separuh napas dari otonomi itu banyak diamputasi oleh berbagai regulasi yang dalam praktiknya menghambat pembangunan daerah.

Contoh paling nyata adalah pengelolaan laut. Dulu kabupaten/kota memiliki kewenangan hingga 4 mil dari bibir pantai. Kini, kewenangan itu sepenuhnya diambil alih provinsi hingga 12 mil. Akibatnya, Cilegon tidak memiliki otoritas apapun atas eksplorasi, eksploitasi, maupun konservasi laut, meskipun dampak aktivitas industri kelautan dirasakan langsung oleh warga. Alhasil, daerah hanya jadi penonton dan menghela napas atas dampak yang diterima dari semua aktivitas di laut.

Di atas laut itu bertebaran potensi pendapatan untuk kas daerah dari adanya eksplorasi, eksploitasi, konservasi. Belum lagi peluang yang ada di pelabuhan yang bisa diambil retribusinya sebagai sumber PAD. Oleh karena itu, potensi retribusi pelabuhan, konservasi, hingga jasa laut hilang begitu saja dari kas daerah, semua diambil provinsi.

Masalah lain adalah desain kebijakan fiskal nasional. Pajak-pajak besar yang mestinya bisa menopang PAD telah menjadi domain pusat. Daerah hanya mendapat bagian melalui Dana Bagi Hasil (DBH). Ironisnya, porsinya seringkali tidak adil.

Contohnya Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Jenis pajak ini pengelolaannya diserahkan ke provinsi. Sesuai aturan, 70% hasil PKB masuk ke provinsi, hanya 30% ke kabupaten/kota. Ini yang disebut pembagian porsi yang tidak proporsional. Tahun 2024, Cilegon menerima DBH PKB sebesar Rp50,93 miliar. Jumlah yang jelas kecil jika dibandingkan dengan padatnya lalu lintas kendaraan di kota industri ini.

Andai porsinya diubah menjadi lebih adil—misalnya 60% untuk provinsi, 40% untuk kota/kabupaten—maka ruang fiskal daerah akan lebih longgar. Bahkan lebih baik lagi jika kewenangan PKB dimasukkan ke pajak daerah kabupaten/kota, sejajar dengan BPHTB, PBB, dan Pajak Penerangan Jalan. Dengan begitu akan membantu PAD dari ketergantungan pusat, daerah juga bisa bernapas lega dalam membangun daerahnya.

Hal serupa terjadi pada PPh 21 (pajak pekerja) tahun 2024, Cilegon menerima DBH sebesar Rp155,3 miliar, atau hanya 20% dari total penerimaan pajak, sementara 80% diserap pusat. Jadi pajak yang disetorkan atas hasil keringat pekerja di Cilegon, diisap sarimadunya lebih banyak oleh pusat (80%). Itulah ketentuannya, DBH dibagi dengan proporsi 80% pusat, 20% daerah.

Lebih ironis lagi, dari PPh 25 dan PPh 29—yang seharusnya menyumbang besar dari aktivitas industri—Cilegon tidak mendapatkan alokasi sama sekali. Padahal industri raksasa berderet di wilayah ini. Tentu saja ini mengundang tanya besar, Industri raksasa berjibun bukan hanya satu dua, aneh kalau dari kegiatannya tidak ada penghasilan yang di dalamnya ada kewajiban membayar pajak.

Mengapa bisa demikian? Karena banyak perusahaan yang beroperasi di Cilegon justru mendaftarkan NPWP dan berkedudukan hukum di luar daerah. Akibatnya, setoran pajak mereka tidak tercatat sebagai potensi DBH untuk Cilegon. Inilah bukti atas wajah ketimpangan fiskal otonomi setengah hati : beban pembangunan ditanggung daerah, tetapi manfaat fiskal lari ke pusat.

Namun demikian, terkait dengan DBH 0% dari PPh 25/29, perlu juga ditelusuri dengan seksama, apakah mungkin dari sekian industri yang ada, tak satupun dari mereka menjadi wajib pajak dan terdaftar di Cilegon. Rasanya agak janggal jika ada yang terdaftar NPWP-nya di Cilegon, lantas tak mau bayar pajak.

Beban pembangunan Kota Cilegon saat ini sungguh berat. Tidak dapat dipungkiri, pelaksanaan pembangunan tahun 2025 berjalan terseok-seok akibat warisan defisit anggaran APBD 2024 yang cukup besar, ditambah tumpukan utang ratusan miliar rupiah. Kondisi ini semakin diperparah dengan terbitnya Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Pelaksanaan APBN dan APBD, yang mengharuskan pemangkasan anggaran secara signifikan.

Akibat kebijakan efisiensi tersebut, dana transfer ke Kota Cilegon dipotong lebih dari Rp400 miliar. Pemotongan ini jelas berdampak langsung pada struktur APBD 2025, sehingga banyak program pembangunan yang terkendala. Tidak hanya infrastruktur yang terhambat, tetapi juga berbagai program layanan publik lainnya terancam tidak berjalan optimal.

Cilegon adalah kota industri yang kaya potensi, tetapi miskin kemandirian fiskal. Pemerintah daerah terus terengah-engah dalam mendongkrak pendapatan, khususnya dari sektor PAD, karena terkungkung oleh aturan fiskal yang membatasi ruang gerak.

Situasi ini merupakan buah dari otonomi daerah yang berjalan setengah hati. Jika pemerintah pusat benar-benar ingin memperkuat daerah, maka kebijakan fiskal harus disusun lebih proporsional, kewenangan strategis dikembalikan, dan setiap potensi yang ada harus memberi manfaat langsung bagi daerah. Dengan begitu, mendung kelabu dalam upaya meningkatkan pendapatan daerah dapat perlahan berubah menjadi terang.

Tanpa keberanian mereformasi desain otonomi fiskal, Cilegon akan terus menjadi “penonton” di tanahnya sendiri—menanggung beban pembangunan tanpa menikmati manfaat fiskal dari geliat industri.





Source link

beritajakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *