PN Serang Gelar Pemeriksaan Setempat di Sidang Kasus SPBU Ciceri

Romobongan PN Serang melakukan pemeriksaan setempat di SPBU Ciceri. (Audindra/bantennews) SERANG – Pengadilan Negeri (PN) Serang melakukan pemeriksaan setempat dalam…
1 Min Read 0 10


Romobongan PN Serang melakukan pemeriksaan setempat di SPBU Ciceri. (Audindra/bantennews)

SERANG – Pengadilan Negeri (PN) Serang melakukan pemeriksaan setempat dalam sidang lanjutan perkara Pertamax oplosan di SPBU Ciceri, Rabu (20/8/2025).

Dalam pemeriksaan setempat itu juga menghadirkan ketiga terdakwa, Deden Hidayat, Nadir Sudrajat, dan Aswan alias Emon.

Dari pantauan BantenNews.co.id di lokasi, hakim dan tim dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Serang tiba sekira pukul 11.25 WIB dan langsung memeriksa sejumlah titik. Majelis Hakim yang hadir yakni Diah Astuti Miftafiatun, Hendri Irawan, dan Galih Dewi Inanti Akhmad.

Para terdakwa juga diminta untuk menunjukkan lokasi tangki penyimpanan Bahan Bakar Minyak (BBM). Barang bukti yang disita kemudian dibandingkan warnanya dengan Pertamax yang kini dijual di SPBU Ciceri.

Terlihat bahwa Pertamax oplosan yang jadi barang bukti warnanya lebih pekat daripada Pertamax yang dibeli dari Pertamina. Terdakwa Nadir sempat berkelit bahwa sejak awal diberi sampel oleh terdakwa Deden, warna Pertamax-nya tidak mencurigakan.

Diah juga sempat menanyakan kepada terdakwa Nadir dan Aswan apakah jika warna Pertamax yang dibeli dari terdakwa Deden tidak berbeda dengan Pertamax yang dibeli langsung dari Pertamina, apakah akan tetap membeli atau tidak.

“Kalau dari awal tahu yang dipesan warnanya seperti ini apakah akan tetap dipesan?” tanya Diah.
“Enggak, lah. (akan) Ditolak,” jawab terdakwa Nadir.

Pemeriksaan setempat berlangsung sekitar 21 menit, berakhir sekitar pukul 11.46 WIB. Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda tuntutan dari JPU.

Humas PN Serang, Mochamad Ichwanudin, mengatakan tujuan pemeriksaan di tempat merupakan rangkaian sidang dalam proses pembuktian.

“Diharapkan dapat diperoleh fakta yang meyakinkan. Tentang hasilnya akan tertuang ke depannya dalam putusan majelis,” kata Ichwanudin kepada BantenNews.co.id saat dihubungi via pesan WhatsApp.

Sebelumnya, tiga terdakwa dalam kasus dugaan pemalsuan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Serang.

Ketiga terdakwa yakni Deden Hidayat sebagai penyuplai, Nadir Sudrajat selaku manajer SPBU Ciceri, dan Aswan alias Emon selaku pengawas di SPBU Ciceri, Kota Serang.

“Bahwa terdakwa Deden Hidayat Bin Wawan Sudrajat bersama-sama dengan saksi Nadir Sudrajat alias Nadir Bin Muhtadi dan saksi Aswan alias H. Emon Bin Sansuwito telah meniru atau memalsukan Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi dan hasil olahan,” kata JPU Kejari Serang, Slamet, saat membacakan dakwaan di PN Serang, Senin (28/7/2025) lalu.

Ketiganya didakwa melanggar Pasal 54 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Pasal 40 angka 9 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kata Slamet, kasus ini bermula pada 17 Maret 2025 saat Aswan menghubungi Deden untuk membeli Pertamax dengan harga miring. Saat itu Deden belum memiliki stok.

Beberapa hari kemudian, Deden mendapat tawaran dari seseorang bernama Marko yang kini berstatus buron untuk menjual BBM olahan sebanyak 16.000 liter seharga Rp9.500 per liter.

“Terdakwa Deden menyetujui tawaran tersebut dan langsung menghubungi saksi Aswan dalam rangka menawarkan BBM jenis Pertamax tanpa Surat Jalan dan tanpa DO seharga Rp10.200 per liter,” kata Slamet.

 

Pengiriman dilakukan pada malam hari, 20 Maret 2025, menggunakan mobil tangki berlogo PT Pertamina. Proses pembongkaran dilakukan di SPBU 34.421.13 Ciceri, dan disaksikan oleh ketiga terdakwa.

“Dalam rangka untuk membuat BBM jenis Pertamax hasil olahan bukan dari PT Pertamina tersebut seolah-olah sebagai BBM jenis Pertamax yang diproduksi oleh PT Pertamina, selanjutnya saksi Nadir Sudrajat dan saksi Aswan kemudian mengarahkan terdakwa Deden untuk mencampurkannya dengan Pertamax asli yang masih ada (tersisa) di tangki pendam,” ucapnya.

 

Sebanyak 8.000 liter Pertamax resmi dari Pertamina kemudian dicampurkan dengan BBM yang dibeli dari Deden. Setelah itu Deden menerima pembayaran sebesar Rp80 juta dari nilai total Rp152 juta dari Aswan selaku pengawas SPBU.

Sedangkan sisa uangnya dijanjikan Aswan akan dibayar ketika Pertamax itu habis terjual.

Setelah itu, terdakwa Aswan mengambil sampel Pertamax yang tercampur itu dan memberikannya kepada saksi Samsul selaku pengawas dan bagian keuangan SPBU Ciceri. Namun, didapati sampel Pertamax itu berwarna biru pekat, tidak sesuai dengan Pertamax asli dari Pertamina.

“Saksi Samsul kemudian melaporkannya kepada Nadir Sudrajat selaku Manajer Operasional SPBU. Nadir Sudrajat kemudian memerintahkan kepada semua karyawan SPBU untuk segera menutup SPBU tersebut dan selanjutnya pada hari Jumat pagi tanggal 21 Maret 2025, Aswan menghubungi dan meminta terdakwa Deden untuk datang ke SPBU Ciceri dalam rangka mencari solusi terhadap BBM jenis Pertamax yang berwarna biru pekat tersebut,” tuturnya.

Deden lalu menawarkan dua opsi: menyedot ulang BBM atau menambahkan zat pewarna. Namun, usulan itu ditolak Nadir.

Solusi akhir dari Deden adalah menambahkan lagi 8.000 liter Pertamax resmi untuk menutupi perbedaan warna.

“BBM jenis Pertamax tersebut langsung dilakukan pembongkaran (pencampuran) supaya warna BBM jenis Pertamax hasil olahan yang ada di dalam tangki pendam tersebut berubah menjadi warna biru terang sesuai dengan warna BBM Pertamax yang asli dari Pertamina,” sambungnya.

Meski telah dilakukan pencampuran dua kali, keluhan dari konsumen terus muncul. Pada 23 Maret 2025 malam, dua nozzle SPBU dilaporkan mengeluarkan BBM dengan warna yang mencurigakan.

Esok harinya, Subdit IV Tipidter Polda Banten langsung turun tangan. “Penyidik dari Subdit IV Tipidter Polda Banten menyegel dua nozzle serta mengambil empat sampel BBM dari tangki pendam untuk diuji laboratorium,” kata Slamet.

Hasil laboratorium menunjukkan salah satu parameter, yaitu Final Boiling Point (FBP) Pertamax itu, melampaui ambang batas maksimal 215 yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Migas, yakni mencapai 218,5.

Ahli dari Badan Pengatur Hilir Migas, Dedi Armansyah, menyatakan bahwa pencampuran Pertamax olahan dengan Pertamax resmi tanpa izin pemerintah merupakan bentuk pemalsuan.

“Merupakan kegiatan meniru atau menyerupai atau memalsukan BBM sehingga seolah-olah BBM Pertamax asli untuk selanjutnya dipasarkan di dalam negeri,” ujar Slamet.

Penulis: Audindra Kusuma
Editor: Tb Moch. Ibnu Rushd





Source link

beritajakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *