Jakarta, CNN Indonesia —
Calon Gubernur Sumatera Utara nomor urut 1 Bobby Nasution dan Cagub Sumut nomor urut 2 Edy Rahmayadi kerap saling serang dalam berbagai momen kampanye Pilkada Sumut.
Edy merupakan petahana Gubernur Sumut, sementara Bobby merupakan Wali Kota Medan yang juga menantu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).
Pada debat perdana Pilgub Sumut, Rabu (30/10) malam, Bobby Nasution mengkritik Edy Rahmayadi karena tidak berkomitmen menjadi anggota peredaran narkoba.
Bobby mengatakan kinerja buruk Edy tersebut berimbas pada Sumut menjadi provinsi dengan tingkat pengguna narkoba tertinggi di Indonesia.
Dia juga memasukkan soal kebijakan membeli lahan Medan Club saat Edy menjabat sebagai Gubernur Sumut. Ia mengatakan Sumut seharusnya bisa memenuhi UHC, seperti Kota Medan.
Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M Jamiluddin Ritonga menilai Bobby memiliki strategi untuk memuji kinerja Edy di awal, namun kemudian menguliti program Edy lain yang dianggap gagal di Sumut.
Dengan cara itu, Bobby menurutnya ingin menyampaikan pesan kepada warga Sumut bahwa prestasi Edy di bidang pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sangat minim.
“Justru lebih banyak kinerja Edy di bidang tersebut yang rendah,” kata Jamiluddin saat dihubungi CNNIndonesia.comJumat (1/11).
“Dengan memuji dan mengkritik, Bobby ingin memberi kesan seolah-olah ia objektif dan seimbang dalam menilai kinerja Edy. Upaya menanamkan kesan itu tampaknya berhasil,” imbuhnya.
Bahkan calon wakil Edy, Hasan Basri Sagala menurutnya ikut terpancing atas strategi Bobby tersebut.
Jamiluddin juga beranggapan Bobby mampu membuat Edy bingung sehingga menjawab persoalan yang tidak sesuai dengan pertanyaan. Salah satunya saat Bobby menyinggung soal UHC.
Pun dengan strategi sindiran Bobby kepada Edy yang dinilai tidak memahami muatan lokal dan malah membahas soal ekstrakurikuler siswa.
“Secara keseluruhan Bobby tampil sedikit lebih unggul dalam debat pertama. Keunggulan itu dapat dilihat dari penguasaan materi maupun keruntutan dalam menjawab,” kata dia.
Meski begitu, Jamiluddin juga menilai program yang disampaikan baik Edy dan Bobby sama-sama bagus dan inovatif. Namun program yang disampaikan keduanya menurutnya juga tidak dapat dikomunikasikan secara lebih utuh.
Ia menilai program para paslon semakin kurang tersampaikan karena mereka terjebak pada apa yang dikerjakan saat mereka menjadi gubernur atau wali kota.
“Selain tentunya dua paslon sibuk saling sindir. Mereka lebih terpancing untuk memanaskan suasana perdebatan melalui kritik atas kinerja masa lalu mereka,” imbuh Jamiluddin.
Lebih lanjut, mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta itu menilai penampilan Bobby di debat perdana berpotensi menggerus elektabilitas Edy di Pilgub Sumut.
Pun menurutnya hasil survei beberapa lembaga survei menunjukkan elektabilitas Bobby lebih unggul dibandingkan Edy.
Namun selain itu, mengingat Jokowi sudah tidak lagi menjadi presiden Indonesia, maka bisa saja faktor Jokowi tidak akan signifikan memilih masyarakat Bobby.
“Strategi Bobby untuk memberi kesan kinerja rendah Edy tampaknya berhasil. Hal ini dapat menurunkan elektabilitas Edy pasca debat pertama,” ujar Jamiluddin.
Saling serang konsekuensi head to head
Pengamat politik dari Universitas Andalas Asrinaldi menilai wajar baik Edy dan Bobby saling serang dalam debat perdana Pilgub Sumut 2024, sebab mereka kepala ke kepala alias hanya dua paslon.
Namun, Asrinaldi juga menggarisbawahi perdebatan satu sama lain serang itu justru berpeluang esensi esensi dari solusi yang ditawarkan masing-masing paslon.
“Dalam perdebatan juga bicara tentang fakta, data, dan bicara tentang solusi. Jadi tidak sekedar serang, tidak sekedar memperdebatkan hal-hal yang sebenarnya juga membuat masyarakat bingung sendiri dengan apa yang diperdebatkan,” kata Asri kepada CNNIndonesia.com, Jumat.
Asri mengatakan Bobby memiliki jurus untuk melawan dan memikirkan kebijakan dan program Edy selama masa jabatannya di Sumut. Dengan demikian Bobby memiliki peluang menyerang lebih banyak.
(khr/tsa)