Oleh : Moch. Nasir Rosyid SH, (*)
Pegiat Literasi
Pitulasan – berasal dari kata pitulas, yang dalam bahasa Jawa berarti angka tujuh belas (17). Dalam bahasa Indonesia, angka ini dikenal sebagai “tujuh belas” dan dalam tradisi Jawa, ia memiliki makna yang cukup istimewa.
Dalam khazanah budaya Jawa, angka tidak hanya dilihat sebagai bilangan matematis, tetapi juga memiliki makna simbolis dan filosofis. Angka pitulas, tujuh belas dalam primbon Jawa kerap dianggap sebagai angka keramat. Angka ini disimbolkan dengan burung elang, lambang kebijaksanaan, keteguhan hati, dan keberanian menatap tantangan.
Orang yang lahir pada tanggal 17 diyakini memiliki sifat kepemimpinan alami, tekad yang tak mudah goyah, serta kemampuan memecahkan masalah dengan pikiran jernih. Filosofi ini lahir dari pandangan bahwa angka 1 melambangkan ketunggalan, keesaan, dan kemurnian tujuan, sedangkan angka 7 melambangkan kesempurnaan ciptaan dan kekuatan spiritual. Ketika disatukan, 1 dan 7 menjadi 17, sebuah angka yang dipercaya membawa kekuatan besar untuk mewujudkan perubahan.
Dalam penanggalan kalender, tanggal 17 tentu hanyalah satu dari 31 kemungkinan. Namun, ketika dikaitkan dengan sejarah bangsa, tanggal ini memperoleh makna yang jauh lebih mendalam. Bagi bangsa Indonesia, pitulasan menjadi penanda momen monumental: 17 Agustus 1945, hari ketika kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Pemilihan tanggal 17 Agustus bukanlah kebetulan belaka. Sejumlah catatan menyebutkan, Soekarno memiliki keyakinan akan kekuatan dan tuah angka 17. Menurutnya, angka ini selaras dengan jumlah rakaat salat fardu dalam Islam, yakni 17 rakaat sehari semalam. Simbol ini mengandung pesan bahwa kemerdekaan bukan hanya tujuan duniawi, tetapi juga bagian dari ikhtiar spiritual.
Bulan Agustus, di sisi lain, menjadi bulan yang sarat makna. Dalam alam pikir masyarakat Jawa, bulan ini adalah masa purnama agung, di mana energi semesta berada pada puncaknya. Dipadukan dengan angka 17, bulan ini diyakini sebagai saat yang tepat untuk memulai babak baru kehidupan, dalam konteks Indonesia, babak baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Dengan demikian, pitulasan tidak sekadar menunjuk angka dan tanggal. Ia adalah simpul antara nilai budaya, keyakinan spiritual, dan momentum sejarah. Filosofi angka 17 mengajarkan bahwa kemerdekaan harus dijalankan dengan kebijaksanaan (burung elang), keteguhan hati (tekad angka 1), dan kesempurnaan tujuan (makna angka 7).
Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan hanya peristiwa politik yang menghapus dominasi penjajah, tetapi juga pernyataan batin kolektif bangsa bahwa Indonesia berdiri dengan kekuatan lahir dan batin, duniawi dan rohani. Sejak saat itu, setiap kali pitulasan tiba, khususnya di bulan Agustus, bangsa Indonesia tidak hanya merayakan kemenangan, tetapi juga merenungkan kembali makna kemerdekaan: sebuah anugerah yang harus dijaga, diisi, dan dipertahankan dengan keberanian dan kebijaksanaan. Karena seperti filosofi angka 17, kemerdekaan sejati tidak berhenti pada pernyataan, melainkan terus hidup dalam sikap dan tindakan bangsa yang berdaulat.
Perayaan kemenangan yang termanifestasi dalam pitulasan menjadi momen kebersamaan yang dinanti setiap tahun. Suasana penuh warna ini diisi dengan beragam kegiatan, dari perlombaan seru hingga acara yang sarat nilai kebersamaan.
Pesertanya tak memandang usia atau status. Mulai dari anak-anak yang riang berlari di lapangan, ibu-ibu yang penuh semangat mengikuti lomba masak atau balap karung, ada juga yang kadang “tak senonoh”, -lomba menjilat pisang, bapak-bapak yang tak kalah antusias dalam adu ketangkasan, hingga para pejabat kelurahan, kecamatan, bahkan pejabat tinggi yang ikut larut dalam suasana meriah. Kegiatannya pun beragam, ada yang murni menghibur, ada pula yang memberi manfaat dan nilai positif bagi masyarakat. Namun satu hal yang pasti, pitulasan menjadi ruang di mana semua orang bisa merasakan kebahagiaan. Sebuah kebahagiaan yang tak hanya dinikmati sendiri, tetapi dirayakan bersama, happy secara berjemaah.
Dulu, saat saya memimpin desa, perayaan pitulasan selalu menjadi momen yang penuh warna. Sebagai kepala desa, saya merasa berkewajiban memfasilitasi keinginan warga. Bukan hanya lomba arak-arakan atau pawai keliling kampung yang harus diadakan, tetapi juga menyediakan Kutemare -panjat pinang- khusus untuk kelompok kendang atau peguron silat yang ada di desa kami. Jumlahnya ada delapan peguron, masing-masing dengan identitas dan kebanggaan tersendiri.
Hari itu, halaman Kantor Desa berubah menjadi pusat kemeriahan. Setelah pawai selesai, warga berbondong-bondong berkumpul, memenuhi setiap sudut lapangan. Di tengah terik dan sorak-sorai penonton, delapan peguron bergiliran menaiki batang pinang yang sudah dilumuri pelicin, sesuai jatah masing-masing. Di puncaknya, berbagai hadiah menggantung, menunggu untuk direbut.
Suasana semakin meriah ketika setiap peguron diiringi tabuhan kendang khas mereka, menciptakan irama yang memacu semangat. Tak hanya memanjat, mereka juga menampilkan atraksi silat yang memukau, menunjukkan keahlian dan karakter masing-masing perguruan. Gabungan antara musik kendang, gerakan silat, dan tawa penonton menjadikan halaman Kantor Desa sore itu seperti panggung besar, tempat tradisi, seni, dan kebersamaan melebur menjadi satu. Semua senang, semua happy.
Kini, menjelang pitulasan yang ke-80 tahun, seakan terdengar kembali gema suara proklamasi yang menembus ruang dan waktu. Terbayang kisah tentang elang yang membelah langit, menatap jauh ke cakrawala kemerdekaan. Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju – demikian slogan yang terpampang dalam logo Peringatan HUT RI ke-80. Bukan sekadar jargon, di dalamnya tersimpan makna mendalam: tekad untuk menunaikan janji kemerdekaan, janji untuk menjaga tanah ini dengan kebijaksanaan, memelihara jiwa bangsa dengan keberanian, serta mengisi hari-hari merdeka dengan karya yang berarti.
Dalam suasana kemerdekaan ini, rakyat menginginkan Indonesia ibarat burung elang yang terus mengepakkan sayapnya, menjaga arah, menatap masa depan, dan tak pernah kembali tunduk pada bayang-bayang penindasan. Rakyat ingin berdaulat. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat ingin maju.
Tentu, rakyat tidak menginginkan adanya kisah kelam seperti yang kini terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, akibat kebijakan pemimpin yang dinilai mencederai harapan dan kepentingan warganya.
*Penulis Buku “Catatan dari Cilegon” dan “Cilegon di Persimpangan”