18 Tahun Mengabdi, Guru Honorer di Pandeglang Kini Bertahan Hidup di Sisa Dapur Rumah Lapuk

Guru honorer di Pandeglang Banten tinggal di sisa bangunan rumahnya yang roboh – (Foto Memed/BantenNews.co.id) PANDEGLANG – Di tengah sunyi…
1 Min Read 0 9


Guru honorer di Pandeglang Banten tinggal di sisa bangunan rumahnya yang roboh – (Foto Memed/BantenNews.co.id)

PANDEGLANG – Di tengah sunyi pedesaan Kampung Cilambungan, Desa Mandalawangi, berdirilah sisa rumah reyot yang hanya menyisakan bagian dapur. Di sanalah Doni Romdoni (43), seorang guru honorer, tinggal bersama rasa lelah dan harapan yang belum pudar. Rumah yang pernah menjadi tempat penuh tawa dan suara anak-anak kini hanya meninggalkan kenangan pahit setelah roboh dimakan usia.

Sejak tahun 2007, Doni telah mengabdi sebagai guru honorer di salah satu sekolah swasta di Pandeglang. Di tahun yang sama, ia mulai menempati rumah sederhana peninggalan orang tuanya. Rumah itu awalnya semi permanen, namun termakan waktu hingga akhirnya roboh perlahan sejak 2020 dan benar-benar ambruk pada 2022.

Kini, yang tersisa hanyalah bagian dapur yang masih berdiri. Di tempat sempit itu, Doni dan keluarganya mencoba bertahan. Namun ketika hujan deras turun, mereka tak punya pilihan selain mengungsi ke rumah mertua.

“Lapuk dimakan usia, dan kalau kehujanan bocor sampai habis nggak ada atapnya,” tutur Doni dengan nada getir, Senin (8/9/2025).

Doni terpaksa membiarkan istri dan ketiga anaknya lebih sering tinggal bersama mertua. Sementara ia sendiri tetap tinggal di dapur itu demi menjaga sisa barang-barang dan perabotan rumah yang belum sempat diselamatkan.

Menjadi guru honorer selama 18 tahun bukan perkara mudah. Penghasilan Doni jauh dari kata cukup, apalagi untuk membangun kembali rumah yang roboh. Keinginannya sederhana: memberikan tempat yang aman dan layak bagi keluarganya. Namun, biaya renovasi terlalu berat untuk digapai.

“Ingin dibangun dan ingin mendapatkan tempat perlindungan yang aman untuk keluarga. Ekonomi saya, karena namanya juga guru honorer swasta, untuk membangun rumah kembali secara real rasanya nggak mungkin. Merehab saja belum bisa,” ungkapnya.

Doni tak hanya dikenal sebagai guru di sekolah. Sebelum rumahnya roboh, ia juga membuka pengajian kecil di rumahnya untuk anak-anak kampung. Namun, kegiatan itu terpaksa dihentikan karena kondisi bangunan yang tak lagi aman.

“Kita melanjutkan perjuangan orang tua pengajian anak kecil, tapi karena kondisi seperti ini akhirnya vakum. Kasihan juga anak-anak kalau dipaksakan,” ujarnya lirih.

Meski kisah Doni menyayat hati, hingga kini ia belum pernah mendapat bantuan dari pemerintah. Harapannya, suatu saat akan ada tangan yang terulur untuk membantunya membangun kembali rumah dan menghidupkan kembali kegiatan mengajinya.

“Belum pernah ada perhatian dari pemerintah. Ada pengajian, tapi kalau bangunan seperti ini mau apalagi. Kasihan anak-anak juga,” jelas Doni.

Kepala Desa Mandalawangi, Azis Sahril, mengaku prihatin melihat kondisi Doni. Ia berjanji akan memprioritaskan pembangunan rumah warganya yang benar-benar membutuhkan.

“Kami juga miris melihat kondisi fisik rumahnya. Ke depannya kami akan fokus terhadap apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Namun sejauh ini memang belum ada pengajuan dari RT,” kata Azis.

Meski hidup dalam keterbatasan, Doni tak pernah berhenti berharap. Ia percaya suatu hari nanti rumahnya akan berdiri kembali, bukan hanya sebagai tempat berlindung, tetapi juga sebagai ruang untuk berbagi ilmu dan kebaikan dengan anak-anak di kampungnya.

Di tengah keheningan dapur yang menjadi saksi perjuangannya, Doni tetap bertahan. Baginya, selama harapan masih ada, ia takkan menyerah. Ia hanya menunggu datangnya tangan-tangan yang siap membantu mewujudkan impiannya: memiliki rumah yang layak, aman, dan penuh berkah.

Penulis : Memed
Editor : Usman Temposo

 





Source link

beritajakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *